Selasa, 05 April 2011

BIOGRAFI SUNARI DALAM KAJIAN SISTEM KEBUDAYAAN

BIOGRAFI SUNARI DALAM KAJIAN SISTEM KEBUDAYAAN
(M. Eksan, Kota Malang Jawa Timur)

Pelukis Sunari hingga kini tetap eksis. Hal itu ditunjukkan dengan aktivitas berkesenian di Kota Malang. Untuk kepentingan akademik dan praktis dampaknya sangat penting untuk dikaji. Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari? Metode yang diterapkan adalah metode deskriptif dengan konteks pendekatan kebudayaan. Teori yang digunakan, teori dari Koentjaraningrat yang diadopsi dengan teori tindakan Parson. Hasil kajian sebagai berikut:  (1) sistem budaya menunjukkan perjalanan hidupnya bahwa keyakinan, nilai, ide, gagasan yang dilatarbelakangi pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat dan minat mendorongnya berperilaku dan menghasilkan kebudayaan konkret, (2) sistem sosial, yakni ide, gagasan akan mendorongnya berperilaku dan menghasilkan wadah aktivitas seni; (3) sistem kepribadian, yakni ciri wataknya yang konsisten, memberikan identitas yang khusus; dan (4) sistem organisma menunjukkan identitasnya sebagai guru, pelukis, dan organisatoris kesenian.

Kata Kunci: biografi, pelukis, dan Sunari


PENDAHULUAN

Sunari, lahir 4 Juni 1951, di Jalan Gadang Kotamadya Malang dari pasangan bapak M. Sahid dan ibu Srianah. Ia merupakan anak tunggal dari ibu Srianah, sedangkan dari ibu yang lain Sunari memiliki 6 saudara (saudara dari satu bapak, lain ibu). Sunari belajar melukis pada saat di Sekolah Rakyat (sekarang SD). Kegemaran melukis mungkin karena ketertarikannya dari bapak M. Sahid, yang memiliki keahlian melukis, miskipun sang bapak dalam melukis hanya sebatas sebagai pelukis kampung. Selain melukis sang bapak juga ahli dalam pembangunan rumah, yakni sebagai tukang bangunan.

Pada saat menjadi siswa di Sekolah Teknik (ST) dan Sekolah Teknik Menengah (STM), sebenarnya Sunari telah merintisnya dan menjalani kegiatan seni lukis remaja. Miskipun dalam pemahaman tentang media dan teknik kesenirupaan masih terbatas dan objek yang dikerjakan juga masih berkisah tentang dunia remaja dan alam atau objek yang disukai oleh masyarakat sekitarnya. Namun demikian, aktivitas yang dilakukannya cukup menarik untuk disimak bersama. Mengapa demikian? Kita tahu Kota Malang pada tahun 1965-1970 masih alami dan sederhana. Sedangkan perkembangan Kota Malang sekarang sangat berbeda. Kota Malang saat ini sudah berkembang, maju, dan dipenuhi oleh bangunan-bangunan ruko serta bangunan bertingkat. Pada tahun-tahun itu, baginya merupakan tahun yang sulit untuk memperoleh bahan dan alat-alat untuk melukis. Di samping itu, predikat sebagai pelukis masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat.

Menjelang kelulusan dari STMN Malang, Sunari berjumpa dengan bapak Munadjat (Alm.) Tokoh teater Kota Malang yang merupakan tetangga dekat (satu kampung). Dari perjumpaan dengan bapak Munadjat inilah, Sunari mendapat informasi dan penjelasan secara detail dan meyakinkan, tentang keadaan jurusan seni rupa IKIP Malang yang pada saat itu, akan membuka pendaftaran mahasiswa baru. Bersamaan dengan itu, teman sepermainan Sunari yang bernama Moeng Mulyadi (Alm.) yang mendorongnya untuk segera mendaftarkan ke jurusan seni rupa IKIP Malang. Berdasarkan informasi dan penjelasan tersebut, Sunari (tahun 1973) melanjutkan studi ke jurusan Seni Rupa FKSS IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Tahun 1977 Sunari lulus sarjana muda (BA). Kemudian, sambil menunggu program sarjana seni rupa IKIP Malang, Sunari menerjuni profesi sebagai guru dan sekaligus mendalami seni tradisi Malangan yang pada saat di STM, sudah terlibat dan mencintainya.

Semasa Sunari menjadi mahasiswa jurusan seni rupa IKIP Malang, ia tertarik dengan organisasi seni. Kemudian masuk dan menjadi anggota pada sanggar Arti Malang. Sanggar Arti yang didirikan tahun 1975, merupakan wadah bagi mahasiswa-mahasiswa seni rupa IKIP Malang. Sanggar Arti, merupakan wadah kegiatan yang bertujuan untuk mendalami seni lukis dan sekaligus sebagai organisasi kesenian. Ia sebagai salah satu anggota sanggar tidak mempunyai target yang muluk-muluk, tetapi bagaimana ia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan sesama mahasiswa IKIP Malang atau dengan mahasiswa lainnya, hal itu dilakukannya dalam proses pendewasaan diri. Di samping terlibat di sanggar Arti Malang, ia juga memiliki jaringan dan aktivitas lainnya, seperti: komunitas seni tradisi Malangan, teater, dan seni lukis anak. Dengan keterlibatannya di seni tari Malangan (wayang topeng Malangan), ia telah melakukan interaksi dengan komunitas yang dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda dengan kehidupan sanggar Arti yang notabene adalah mahasiswa seni rupa. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya memang sangat berbeda dengan teman-teman yang ada di sanggar Arti Malang, khususnya dalam seni tradisi Malangan. Sedangkan pengalamannya di bidang seni lukis anak, diperoleh dari program-program kegiatan yang diadakan oleh sanggar Arti Malang. Di sinilah, Sunari muda yang memiliki bekal dari berbagai ketrampilan yang kelak akan memudahkannya untuk mengkonstruksi ide, gagasan, dan konsep melalui seni rupa dan seni tari yang merupakan jalan untuk mengisi dalam kehidupannya.

Sanggar seni rupa Arti Malang dan komunitas seni tradisi Malangan membuatnya semakin dewasa, sebab dalam wadah kesenian tersebut akan terjadi diskusi, benturan prinsip, dialog kesenirupaan, dan sekaligus pembahasan program-program kegiatan kesenian. Demikian pula pertemuan-pertemuan dengan tokoh senirupa nasional, seperti halnya dengan pelukis Nashar (Alm.), kritikus Sudarmadji (Alm.), Amang Rahman (Alm.), Rudi Isbandi, tokoh-tokoh seni tradisi Malangan, seperti  Seokimoen (Alm.), Rasimoen (Alm.), pak Karimoen, dan sebagainya telah memberi andil dalam upaya untuk mencintai profesinya di bidang kesenian.

Tahun 1973-1977 merupakan tahun-tahun yang dijalani Sunari sebagai mahasiswa jurusan seni rupa IKIP Malang. Pada saat itu, ia sudah memberanikan diri mengajar seni rupa di sekolah-sekolah formal. Sekolah formal yang menjadi ajang pendalaman pengajaran seni rupa, di antaranya: SDK Dinosious Malang (1976-1986), SDK Taman Harapan Malang (1979-1986), SMAK Kolese Santo Yusup Malang (1977-1981) dan SMA Negeri 5 Malang (1977). Hal itu dilakukan karena kondisi keluarga tidak mencukupi untuk biaya perkuliahan. Oleh sebab itu, ia harus mengajar di sekolah-sekolah sebagai salah satu jalan untuk mengatasi keadaan tersebut. Semasa perkuliahan di seni rupa IKIP Malang, ada suatu peristiwa yang sangat berkesan bagi Sunari, yakni peran ibu Dedy S. Winoto (dosen seni rupa), miskipun beliau dalam pembelajaran seni cukup keras dan tegas. Namun bagi Sunari, kehadiran ibu Dedy telah memberi keyakinan, motivasi, dan semangat untuk berani menjadi guru. Dengan keberanian dan perjuangan itulah, akhirnya Sunari dapat menyelesaikan studi dan sekaligus dapat membantu orang tua (menyelesaian kebutuhan sehari-hari). Selain ibu Dedy S.Winoto, ada salah satu dosen yang menurut Sunari sangat membantu dan mendukung dalam memilih profesi sebagai pelukis, yakni bapak Katjik S. (Alm.). Beliau memotivasi juga memberi kritik keras terhadap karya-karya lukisan yang dibuatnya, namun dibalik itu semua ternyata bapak Katjik S. telah membuka pemahaman, wawasannya dalam seni lukis. Hasil dari perjumpaan yang intensif dengan bapak Katjik S. tersebut, akhirnya Sunari memiliki kemantapan untuk memilih dan menekuni profesi sebagai pelukis.

Di samping berstatus mahasiswa, guru, dan anggota sanggar seni rupa Arti Malang (1975-1990), Sunari juga aktif di Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita (1984-1992) yang bertempat di jalan Kelud (berdekatan dengan bioskop Kelud yang merupakan bioskop misbar. Misbar artinya, bila gerimis terus bubar) Malang. Sunari, di paguyuban tersebut, mendapat kepercayaan dari Ibu Soedomo, yakni sebagai ketua seksi tari dan sekaligus bertempat tinggal di tempat tersebut (mendapat ijin menempati salah satu sudut ruangan dari areal paguyuban). Di tempat inilah, banyak cerita atau fakta yang dibuat oleh Sunari, yakni berupa pengalaman-pengalaman kesenian. Pengalaman itu baik yang berkaitan dengan seni lukis anak, seni tradisi Malangan, komunitas pelukis kota Malang, bahkan keinginannya mewujudkan cita-citanya, yaitu memiliki rumah sendiri (Sunari bekerja keras untuk membangun rumah). Bersamaan dengan itu, salah satu lukisan Sunari yang berjudul ”Yesus” telah dipilih oleh bapak Sudarmadji untuk koleksi Museum Fatahillah Jakarta. Pada tahun 1984, Sunari memperoleh kesempatan baik untuk menempuh sarjana seni rupa yang semula sempat terhenti dikarenakan oleh kondisi dan waktu yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kembali. Tahun 1985, Sunari lulus sarjana seni rupa IKIP Malang.

Selama kurang lebih 8 tahun bertempat tinggal di Paguyuban Laras Budi Wanita di jalan Kelud Malang, kemudian Sunari pindah (tahun 1992-sekarang) rumah ke jalan S. Supriyadi Malang sebagai tempat tinggal sekeluarga. Di sini Sunari mendirikan bina seni lukis dan tari yang diberi nama Sunari.S.Hardina yang bertujuan untuk menampung bakat anak-anak di bidang seni lukis, seni tari tradisional, studio lukis, dan tempat berkumpulnya komunitas pelukis dan komunitas seni tradisi Malangan.

Sejarah menurut orang-orang yang mengalami peristiwa, yaitu sejarah sebagai pengalaman. Cerita sejarah sebagai peristiwa yang ditulis oleh ahli sejarah akan berbeda dengan cerita oleh orang yang langsung mengalami peristiwanya. Orang-orang yang terlibat peristiwa memiliki sejarah sendiri sebagai pengalamannya, mereka mengalami sejarah tanpa tahu, bagaimana hasil akhirnya. Pengalaman ini akan terbatas, tergantung dari posisinya dalam ruang fisik, sosial, dan budaya. Dengan demikian, sebuah peristiwa sejarah adalah gabungan antara pengalaman pribadi (biografi) dengan dinamika kondisi sejarah. Biografi dan sejarah akan bergabung membentuk lilitan kompleks yang oleh ahli sejarah dinamakan peristiwa sejarah. Kata biografi sendiri sebenarnya mengacu pada arti sebuah catatan sejarah dari kehidupan seseorang (tercatat tahun 1683). Kata tersebut diambil dari bahasa Yunani akhir, yakni biograpia. Hal ini juga disampaikan oleh Nevins (dalam Masunah, 2000:7-8), biografi dapat diartikan sebuah bentuk sejarah untuk sekelompok masyarakat, tetapi untuk seseorang laki-laki atau perempuan...Biografi bermanfaat sebagai suatu kajian dari kekuatan kesejarahan.

Berdasarkan ringkasan yang dibuat Sutardji (Salim, 2001:170) dikemukakan bahwa, pada umumnya konsep biografi adalah”the written history of a person’s life”  (kamus Webster’s), tetapi kamus Oxford tidak mengakui dan menguraikan biografi sebagai ”written record of the life of an individual” kata life dilihat dari dua sisi pandangan: (a) Person dan individual kelihatan sinonim: gambaran person memiliki argumentasi lebih kuat sebagai konsep kemanusian, sedangkan individual memiliki pengertian dan kategorisasi yang luas; (b) dan argumentasi kuat, membedakan antara record dengan history menampilkan keadaan yang lebih formal, memiliki perspektif yang luas dan beragam. Sejalan dengan pernyataan tersebut, biografi merupakan kajian sejarah atau kisah perjalanan hidup seseorang. Dalam kajian sejarah, biasanya pandangan kausalitas memegang peranan penting. Dalam sebuah biografi, kausalitas berhubungan dengan latar belakang dan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari peran sosialnya dan struktur sosial penyangga hidup sang tokoh (Masunah, 2000:8). 
      
Bertitik tolak dari fenomena pelukis Sunari di atas, menunjukkan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan aktivitas kesenian. Hal itu, sangat menarik untuk dikaji, yakni Sunari sebagai salah satu pelukis yang mewarnai kegiatan kesenian di Kota Malang. Dengan pertimbangan tersebut, maka kajian studi ini, dengan judul Biografi Sunari dalam kajian sistem kebudayaan.

Permasalahan yang diajukan, adalah bagaimanakah sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari? Dengan demikian tujuan yang akan dicapai adalah mendeskripsikan sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari. Sedangkan manfaat yang diharapkan: (1) sebagai kajian biografi dan aktivitas Sunari memiliki karakteristik serta sampai sekarang ia masih eksis dan berkarya; (2) sumbangan pemikiran berupa strategi pembelajaran seni, aset bagi masyarakat, dan Pemda Kota Malang.

Berkaitan dengan sistem kebudayaan, dalam bahasa Yunani, kata sistem yaitu ”systema” (system) yang berarti, sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang tidak terpisahkan. Kebudayaan menurut Tylor (dalam Harsojo, 1988:92) adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemapuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Koetjaraningrat (1996:72) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian, sistem kebudayaan adalah sesuatu himpunan bagian-bagian yang tergabungkan secara alamiah (oleh budi daya manusia), sehingga menjadi kesatuan dan terpadu dalam keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung gagasan, ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan, tindakan, dan karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar dalam lingkungan baru dengan segala tantangannya yang bersifat kultural.

Jika pendekatan di atas, digunakan untuk mengungkap kehidupan pelukis Sunari, maka aktivitasnya merupakan hasil dari interaksi sosial baik dalam keluarga maupun masyarakat, sehingga penekanan biografi Sunari akan dikaji dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Merujuk Rohendi (2000:21) dikatakan bahwa pendekatan kebudayaan, yakni memandang kebudayaan sebagai suatu sistem. Kebudayaan di sini diartikan sebagai konsep yang digunakan untuk menganalisis dan sekaligus sebagai obyek kajian. Pengertian kebudayaan dipandang sebagai satuan kajian terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan, berhubungan satu dengan yang lain dalam kesatuan intergral, berfungsi beroperasi atau bergerak dalam kesatuan sistem. Konsep kebudayaan dipahami sebagai satuan sistemik, pengertian yang merujuk pada aspek individual, sosial maupun budaya merupakan unsur yang berfungsi sebagai pedoman dan energi secara timbal balik. 

Pembahasan konsep kebudayaan dari sisi pandang yang menyeluruh dan terintegrasi, secara lebih rinci digunakan teori dari Kontjaraningrat yang diadopsi dengan teori tindakan Parson (Ritzer & Donglas, 2005:121-136) yakni, dengan pendekatan kebudayaan. Secara keseluruhan teori, dibedakan menjadi empat komponen, masing-masing dapat dilihat sebagai satuan yang memiliki sifanya sendiri. Komponen tersebut, yaitu: Pertama, sistem budaya (cultural-system), yakni melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka bertindak. Sistem budaya merupakan komponen abstrak yang terdiri: pengetahuan-pengetahuan, gagasan, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang berfungsi mengendalikan, menata, dan memantapkan tingkah laku atau tindakan-tindakan individu. Kedua, sistem sosial (social-system), yakni sejumlah aktor-aktor individual yang saling berintereaksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan ”mengoptimalkan kepuasan” yang hubungannya dengan situasi mereka. Ketiga, sistem kepribadian (personality-system), yakni sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang teroganisir, komponen dasarnya adalah unit-unit motivasi tindakan. Dengan kata lain dorongan lebih baik di pandang sebagai bagian dari organisma biologis. Keempat, sistem organik (organik-system), yakni organisme perilaku didasarkan atas konstitusi genitik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual. Perubahan sosial dibentuk oleh biologi, yakni: (a) proses diferensiasi, aspek yang ensensial yaitu kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat, (b) sistem berdasarkan kreteria askripsi ke sistem yang berdasarkan kreteria prestasi, dan (c) sistem nilai, masyarakat semakin terdeferensiasi memerlukan sistem nilai yang menggariskan ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan sebagai sistem secara sibernetik, menempatkan sistem budaya sebagai unsur atau bagian yang berfungsi menata, mengendalikan, atau mengatur tindakan seseorang dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara sosial maupun secara individual.

Sehubungan dengan permasalahan dan untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap masalah, maka teori yang digunakan yaitu teori sistem tindakan (Parson dan Koentjaraningrat). Metode yang digunakan, deskriptif. Latar kajian yakni Kota Malang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan, dan dokumentasi. Dalam wawancara yang diwawancarai yaitu: pertama, Sunari; kedua, Imam Muhadjir sebagai sahabat dan anggota sanggar seni rupa Arti Malang. Isi wawancara dengan Sunari diprioritaskan pada aktivitasnya sebagai pelukis, guru, penari, organisatoris, dan kepala keluarga. Wawancara dengan Imam Muhadjir berkaitan dengan karya lukis. Kemudian dari hasil penjelasan yang disampaikan, dirangkai sebagai data lapangan. Sedangkan dokumentasi diperoleh dari katalogus dan foto-foto lukisan karya Sunari. Bertolak dari data itu, selanjutnya dianalisis dengan mengoperasionalkan teori sistem tindakan.

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Sunari salah satu pelukis yang tetap eksis di Kota Malang. Pelukis yang beralamat di jalan Sudancho Supriyadi IX/99, RT 10 RW 04 Sukun Malang. Profesi yang dipilih yaitu sebagai pelukis, guru seni rupa Charis International Academy Malang, guru lukis privat, dan pemerhati seni dan budaya tradisional. Statusnya, sudah menikah (istri bernama Sri Hardina, profesi guru tari dan penari). Sedangkan anak pertama bernama Galuh S. Melati (lulus Sarjana Jurusan Bahasa Universitas Malang tahun 2003, profesi sebagai guru tari, penari, dan sudah menikah); dan anak kedua, Panji Peksi Branjangan, lulus S1 Unibraw dan sekarang mendalami dunia dalang dan kesenian Barongsai.

Pengalaman pameran seni rupa sebagai berikut, pameran bersama kelompok Sanggar Arti dan kelompok lain mulai tahun 1974 sampai sekarang. 76 kali pameran bersama di Malang, 2 kali pameran bersama di Blitar dan Madiun, 2 kali pameran bersama di Jember dan Banyuwangi, 2 kali pameran bersama di Surakarta, 2 kali pameran bersama di Yogyakarta, 5 kali pameran bersama di Surabaya, 1 kali pameran bersama di Bandung, 2 kali pameran bersama Pekan Wayang Nasional di Jakarta, 2 kali pameran bersama Bienalle Pelukis Indonesia di TIM Jakarta, 2 kali pameran bersama 17 Pelukis Malang di TIM Jakarta, 2 kali pameran bersama di Denpasar Bali, 2 kali pameran bersama sanggar Arti di Bontang Kaltim, 1 kali pameran berlima di Brisbane Australia, 1 kali pameran berlima di Rockhamton Australia dan pameran tunggal 3 kali di Malang.

Pengalaman berorganisasi seni, di antaranya: sebagai anggota Sanggar Senirupa Arti Malang (1974-sekarang), Ketua Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari.S.Hardina” (1990-sekarang), Penasehat Taman Budaya Wisata Senaputra (1990-sekarang), Ketua Badan Pengurus Harian Seni Tari Dewan Kesenian Malang (1985-1988), Ketua Badan Pengurus Harian Karawitan Dewan Kesenian Malang (2000-2004), Ketua Pengkajian dan Pengembangan Persatuan Padalangan Kota Malang (2000-2004), dan Ketua Seksi Tari Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita (1976-1990).

Pemilihan dunia seni tradisi bagi Sunari membawa pengalaman batin yang begitu mendalam. Sunari bertahun-tahun bersentuhan dengan seni tradisi yang sekaligus menghirup roh budaya Jawa yang memiliki sistem nilai budaya. Di dalam sistem nilai budaya itu, terdapat konsep yang hidup berupa alam pikiran dari warga masyarakat. Apa yang bernilai, berharga, dan penting bagi hidup sehingga berfungsi untuk mengendalikan, menata, dan memantapkan tindakan-tindakan untuk berinteraksi dalam kesenian. Oleh sebab itu, nilai-nilai budaya dalam kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga dari suatu kebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:190). Sunari sejak kecil hidup di lingkungan desa yang kaya dengan kesenian tradisional yang memiliki nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat, seperti wayang purwa, wayang topeng, tandhak, dan jaran kepang. Hal tersebut juga mendapat dukungan dari sang bapak yang gemar melukis. Kemudian dalam proses kesenian selanjutnya, dipertajam dengan pengetahuan kesenirupaannya melalui figur-figur dan kelompok kesenian yang memotivasinya sebagai pelukis, antara lain bapak Katjik. S (Alm.), ibu Dedy S. Winoto, bapak Munadjat (Alm.), Imam Muhadjir, Sanggar Arti, dan komunitas seni tradisi yang sangat berperan dalam perjalanan hidupnya. Itulah sebabnya, nilai-nilai yang ditanamkan oleh lingkungan dalam hal kesenian, tak dapat digantikan dengan nilai budaya lain, selain seni tradisi sebagai sumber ide dalam berkarya.

Pandangan hidup biasanya mengandung nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang dipilih secara selektif oleh individu. Pandangan hidup merupakan seperangkat nilai yang dianut oleh Sunari. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diyakini kebenarannya, sehingga pandangan hidupnya menjadi pedoman berperilaku, berkarya atau berkesenian, dan untuk memecahkan masalah.

Keyakinan merupakan sekumpulan sikap sebagai landasan dari kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap menguasai kehidupan. Dalam hal ini Sunari sebagai orang Jawa, sebagai sosok Arema (Arek Malang), termasuk golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan kebudayaan asli (budaya Jawa), yakni agama beserta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, sikap nrima terhadap peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta.

Faktor bawaan dari Sunari yang diperlihatkan, yaitu semenjak tahun 1960 (di Sekolah Rakyat), kemudian dilatih pada saat remaja (status murid ST dan STM) yang menunjukkan kecintaan dan keikutsertaannya dalam seni tradisi Malangan. Selanjutnya dalam potensi seni lukis dikembangkan melalui studi di Jurusan Seni Rupa IKIP Malang, sebagai tempat untuk melatih dan mengembangkan bakat serta kecerdasan. Sejalan dengan itu, lingkungan pada saat di kampus juga sangat mendukung, seperti halnya Sunari ikut terlibat sebagai anggota sanggar seni rupa Arti Malang, yang prosesnya merupakan wadah ”penggorengan mental” (istilah Imam Muhadjir) yang menjadikan Sunari semakin matang dan dewasa. Dengan demikian, bakat dan kecerdasan yang dimiliki Sunari lebih banyak ditentukan oleh faktor bawaan yang dilatih dengan jalan bergaul dengan komunitas seni tradisi Malangan. Kemudian dilanjutkan dengan kuliah ke Jurusan Seni Rupa IKIP Malang agar dapat berkembang secara potensial dikemudian hari.

Dengan bekal berupa bakat, kecerdasan, dan disertai dengan kecintaanya terhadap kesenian. Sunari berserta istri yang bernama Sri Hardina, pada tahun 1990 mendirikan Bina Seni Lukis dan Tari ” Sunari.S.Hardina”, yaitu dengan kesadaran yang utuh untuk menciptakan proses pembelajaran kesenian baik melalui pembelajaran seni tari tradisional, pembinaan, pelatihan seni lukis anak, dan memfasilitasi untuk penari seni tradisi yang membutuhkan separangkat kostum tari. Bakat, pengetahuan, dan pengalaman dalam berkesenian, akhirnya Sunari berhasil mendirikan wadah kegiatan dan mengisinya dengan berbagai aktivitas yang di dalamnya terkandung unsur interaksi sosial. Penciptaan interaksi sosial, antara lain dengan: komunitas pelukis, komunitas seni tradisi Malangan, orang tua siswa, dan interaksi dengan pihak-pihak yang membutuhkan kesenian. Pihak-pihak yang membutuhkannya, seperti: Pemda Kota Malang, instansi pemerintah atau swasta, dan perorangan yang mempunyai ”acara” keluarga (pernikahan, syukuran, dan sebagainya).

Pengetahuan adalah usaha memenuhi kebutuhan spiritual atau bathin manusia yang ingin tahu. Pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam bentuk karya kebendaan, dalam hal ini Sunari menterjemahkannya dalam bentuk karya lukisan, yang diawali dengan gaya naturalis, realis, dan dekoratif (lambat laun gaya itu ditinggalkan dan kemudian berubah gaya). Apalagi dengan perhatiannya yang besar pada dunia seni lukis anak-anak, ia sadar atau tidak telah menggoreskan sesuatu pada proses kreatif Sunari. Namun demikian di dalam proses perwujudan lukisan, Sunari selalu ingin bertutur kepada apresiator. Lukisan Sunari akan muncul lukisan-lukisan yang naratif, misalnya lukisan yang berjudul ”Manusia Batu”. Menurutnya, ketika Yang Maha Esa menciptakan alam ini, diciptakan batu, kemudian pohon atau tetumbuhan dan binatang, yang terakhir adalah manusia. Manusia atau batu maupun pohon dan binatang itu semuanya tidaklah mempunyai nurani. Yang mempunyai nurani itu, berarti derajatnya lebih tinggi, adalah makhluk yang dinamakan manusia. Karena predikat binatang, manusia batu adalah manusia yang sejatinya tidak sederajat manusia lagi, itu sekarang yang berada di tengah-tengah kita, demikian Sunari menuturnya.

Teknologi dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan dalam kebudayaan. Sunari dengan pengetahuannya, ia dapat menghasilkan berbagai ide, gagasan yang ditunjukkan dalam karya, meskipun pengetahuan tidak seluruhnya dari hasil pengalaman sendiri, melainkan ada pengetahuan yang diperoleh dengan belajar dari orang lain dan dengan peniruan. Sunari sebagai pelukis mungkin mewarisi bakat yang dimiliki orang tuanya, belajar seni rupa di IKIP Malang. Kemudian dilengkapi dengan belajar berorganisasi sebagai anggota sanggar Arti Malang, dan belajar seni tari dari komunitas seni tradisi Malangan. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan tak dapat dipisahkan dari kehidupan berkelompok dan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, perjalanan hidup Sunari menunjukkan bahwa ide, gagasan yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat, dan minat mendorong Sunari untuk berperilaku dan menghasilkan sesuatu kebudayaan yang bersifat konkret.

Sanggar Arti, Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita, Dewan Kesenian Malang, Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pepadi Kota Malang, dan Bina Seni Lukis-Tari ”Sunari.S.Hardina” merupakan wadah bertemunya individu, kelompok yang saling berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan, dan bahkan dengan masyarakat luas. Bagi Sunari dalam menterjemahkan segala aktivitas lain, pada prosesnya selalu mengikuti norma sebagai bentuk aturan tentang ”apa-apa” yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh siapa pun tak terkecuali bagi Sunari sendiri. Dengan beberapa wadah kesenian tersebut, menunjukkan Sunari berhasil mengikuti norma-norma yang telah disepakati bersama, sehingga lahirlah kepercayaan secara organisatoris yang diserahkan kepada Sunari. Seperti halnya, Sunari menjabat sebagai Penasehat Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pengurus DKM, Ketua Seksi Laras Budi Wanita, dan Ketua Pengkajian dan Pengembangan Pepadi Kota Malang.

Sistem Sosial merupakan pola-pola aktivitas tindakan berinteraksi bagi Sunari dalam kehidupan bermasyarakat. Pola tindakan interaksi merupakan rangkaian aktivitas dan tindakan. Di mana Sunari dalam organisasi kesenian saling berhubungan dan berinteraksi dalam hal melaksanakan berbagai macam hal. Peran Sunari ditunjukkan dalam kegiatan seni yang tetap. Selain melukis, Sunari juga melakukan Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari S.Hardina”, di mana terbagi dua kelompok kegiatan, yaitu: (1) guru tari oleh S. Hardina dan Galuh S. Melati yang memberi pelatihan tari tradisional kepada siswa-siswa remaja dan mahasiswa; (2) guru seni lukis anak, diberikan langsung oleh Sunari sendiri, yang diikuti oleh anak-anak usia tingkat TK dan usia tingkat SD. Dengan demikian, dalam proses tersebut akan terlihat unsur guru, pelatih tari, murid, orang tua, dan warga setempat yang saling berhubungan baik secara langsung ataupun terbatas pada pengamatan saja. Aktivitas seni di Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari S.Hardina” merupakan penjabaran dari program kegiatan yang diperoleh dari ide, gagasan Sunari (dan Sri Hardina) sebagai ketua dan pelukis, sedangkan seperti rumah (studio), lukisan, kostum tari, VCD berisi kegiatan tari S. Hardina, dan sebagainya merupakan benda-benda hasil karya sebagai hasil fisik dari aktivitas Sunari dan Sri Hardina dalam kegiatan kesenian, yakni seni lukis dan tari.

Sistem Kepribadian memiliki fungsi sebagai sumber personalitas, kebutuhan, dan motivasi tindakan sosial. Sunari sebagai pelukis, guru, dan pemerhati seni dan budaya tradisional, yang suatu saat juga mengkordinir komunitas seni tradisi melalui Pepadi Kota Malang, Taman Budaya Senaputra, LBW, DKM dan kelompok seni lukis anak, di mana terdapat individu-individu yang memiliki unsur-unsur akal dengan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu yang disebut dengan kepribadian. Istilah kepribadian berarti ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya identitas sebagai individu khusus (Koentjaraningrat,1980:116). Kepribadian Sunari yang memiliki predikat sebagai pelukis, guru, pemerhati seni dan budaya tradisional, dan sekaligus sebagai pemilik bina seni lukis dan tari, sangat berbeda dengan individu-individu yang terlibat di dalam organisasi kesenian di Malang. Sejalan dengan konsep kepribadian, pembahasan ini akan digunakan unsur-unsur kepribadian dalam sistem kepribadian, sebagai berikut:

1. Pengetahuan
Unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa Sunari yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya (terekam). Bagi Sunari yang telah terbentuk melalui lingkungan seni tradisi dan modern, yaitu semenjak masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Pengetahuan dan pengalaman yang dialaminya melalui penerimaan pancaindera dan alat penerima organisma (sesuatu yang hidup terdiri dari bagian-bagian untuk mempertahankan eksistensi sebagai satu sistem yang berproses terhadap lapangan, dalam Koentjaraningrat 1980:117) yang lain. Penerimaan organisma yang ada pada diri Sunari akan diproses, diseleksi yang kemudian menjadi suatu susunan ide, gagasan yang diproyeksikan melalui karya lukisan, dan komunitas seni secara konkrit.

Seni lukis yang digeluti bertahun-tahun oleh Sunari bersentuhan dengan seni tradisional antara lain: wayang topeng Malangan dan wayang kulit wetanan merupakan pilihan yang paling menarik perhatiannya untuk digali dan dikembangkan baik dalam segi visual maupun dalam filosofinya. Seperti apa yang dikatakannya bahwa: ” Lukisan-lukisan saya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur seni tradisi, di mana kehidupan seni tradisi mengandung tiga unsur, yaitu: seni sebagai tontonan, seni sebagai tuntunan, dan seni sebagai tatanan”. Dengan demikian lukisan Sunari pada umumnya selalu ingin ”bertutur”, sejauh Sunari ada kesempatan untuk membabarkan ide-ide kreatif dalam kanvas-kanvasnya, maka akan muncul lukisan yang naratif. Hal ini dapat dilihat pada lukisan yang berjudul ”Milik Nggendong Lali”; ”Ratu Edan”; ”Kantong Bolong”; ”Manusia Binatang”, ”Penari Gandrung”; ”Manusia Batu” dan sebagainya. Hal tersebut seperti apa yang ditulis oleh Imam Muhadjir (2001:3), lukisan-lukisan yang pernah dibuat Sunari bukanlah sekedar konstruksi gagasan dan ide, lebih dari itu memuat nilai-nilai yang sarat makna. Ia mengadopsi ajaran pedhalangan, bahwa wayang bukanlah sekedar tontonan tetapi juga memuat tuntunan. Karya Sunari bernuansa kesenian tradisional sesungguhnya mencerminkan kepeduliannya yang sangat besar terhadap kesenian itu. Warna-warna hijau, merah, kuning, dan putih yang kadang dipadu warna keemasan berterbaran di permukaan kanvasnya adalah refleksi akan kesadaran spiritualnya.

Karya lukis Sunari, di antaranya seperti berikut:





Sejalan dengan hal di atas, Sunari mengemukakan tentang karya lukis seperti berikut:

...bahwa dalam melukis, kesenian-kesenian tradisi tadi bukan merupakan penghalang, namun justru semakin memperkaya ide dan simbol lukisan saya. Bagi saya, yang menjadi persoalan dalam dunia seni lukis itu, bukan semata-mata bentuk yang lahiriah, namun cenderung ke hal-hal yang lebih abstrak, yaitu ”sesuatu dibalik visualitas” baik pesan, gagasan maupun proses. Bagi saya, melukis adalah merdeka. Artinya, bebas dan nyaman dalam menampilkan gagasan-gagasan, sehingga simbol dari bentuk-bentuk itu tidak menjadi halangan dalam kemerdekaan melukis, namun justru menyenangkan. Dan, yang lebih penting, semoga apa yang saya lakukan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bagi Sunari di dalam melukis yang dipentingkan adalah ungkapan. Ungkapan yang ada dibalik visualitas lukisan, itu lah yang disampaikan kepada apresiator untuk diterjemahkan sesuai dengan penafsirannya. Dengan demikian, bagi Sunari kegiatan melukis seperti halnya buku harian. Artinya, apa yang sedang dialami Sunari pada saat tertentu, itulah yang dia keluarkan untuk diekspresikan ke dalam lukisan.

Pengamatan dan proses melukis Sunari, seperti yang disampaikan tentang penjabaran situasional dengan tema wayang kulit, wayang topeng, kasus agen kekuasaan, dan sebagainya adalah penggambaran lingkungan yang belum pernah dialami akan mengarah kesuatu fantasi. Fantasi tersebut akan ditambah-tambah, dibesar-besarkan dan ada yang dikurangi, dikecil-kecilkan pada bagian tertentu (unsur pengolahan) dan bahkan ada yang digabung-gabungkan menjadi suatu penjabaran yang baru sama sekali. Konsep dan fantasi yang muncul dalam diri Sunari itulah yang mempunyai nilai guna dan keindahan yang mengarah kepada kemampuan akal kreatif. Hal itu sebagai suatu proses pengembangan apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi yang merupakan unsur-unsur pengetahuan Sunari yang sadar. Miskipun dalam dirinya, ada sebagian pengetahuan tersembunyi yang disebabkan karena suatu hal yang pada kesempatan itu belum terjadi penggambaran lebih lanjut. Artinya ada unsur-unsur pengetahuan yang tersembunyi ke dalam bagian dari jiwa (alam bawah sadar) dan suatu ketika akan muncul dan berbaur dengan pengetahuan yang lain.

2. Perasaan
Alam kesadaran manusia mengandung berbagai macam perasaan. Konsep tentang perasaan adalah suatu keadaan manusia karena pengaruh pengetahuannya yang dinilai sebagai keadaan positip dan negatif (Koentjaraningrat, 1980:121). Perasaan yang selalu subyektif karena adanya penilaian dan menimbulkan kehendak dalam kesadaran Sunari. Kehendak itu positip, artinya ia ingin mendapatkan hal yang dirasakan sebagai suatu hal yang akan memberikan kenikmatan kepadanya. Suatu misal, Sunari sebagai guru seni lukis anak-anak, ia telah banyak mengantarkan anak didiknya ke forum Nasional bahkan Internasional. Festival seni lukis anak di Sentanikethan India adalah salah satu prestasi anak didiknya. Perasaan Sunari yang memberikan kenikmatan positip pada saat menghantarkan anak lelakinya, si Panji sebagai dalang cilik untuk memainkan sebuah lakon dalam wayang kulit. Demikian pula pada bulan Mei 2006, Sunari merasa puas dan lega dapat menghantarkan putrinya, Galuh S. Melati dalam prosesi pernikahan.

Sesuatu yang dirasakan sebagai sesuatu hal yang memberi kenikmatan negatif, yaitu perasaan yang dialami Sunari. Ketika seorang teman pelukis anggota sanggar mengatakan, bahwa sekarang ini Sunari ”bukan guru lagi” sehingga tidak diundang sebagai peserta pameran lukisan karya guru-guru seni rupa kota Malang. Peristiwa tersebut membuat perasaan dan emosi yang tidak nikmat bagi pribadi Sunari atas komentar teman dari sanggar tersebut

3. Dorongan Naluri
Kesadaran manusia mengandung berbagai perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena pengetahuannya, melainkan naluri. Kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap makhluk disebut dengan dorongan (dalam Koentjaraningrat,1980:123). Dorongan naluri yang terkandung dalam naluri Sunari adalah sebagai berikut:

(a) dorongan mempertahankan hidup
Dengan pendirian Bina Seni Lukis dan Tari Sunari.S.Hardina, kemudian keterlibatannya dalam beberapa aktivitas organisasi kesenian seperti Sanggar Arti, LBW, DKM, Pepadi Kota Malang, guru lukis di Charis International Academy Malang, dan guru lukis privat, bagi Sunari merupakan kemauan yang besar atas kepeduliannya terhadap keluarga dan kesenian. Dengan aktivitas, sarana, dan fasilitas yang diciptakan serta kegiatan seni (sebagai pelukis), maka secara tidak langsung bagi Sunari ada sesuatu yang direncanakan, dikerjakan, kemudian ada sesuatu yang ingin dicapai. Semua itu adalah semata-mata dalam rangka sebagai dorongan untuk mempertahankan hidup.

(b) Dorongan berkeluarg
Bagi Sunari merupakan dorongan untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya. Keterlibatannya dalam menekuni tari wayang topeng Malangan dan beberapa kali ikut pentas tari, baik yang diadakan di Malang, Jakarta maupun di Ujung Padang. Dalam diri Sunari, sebenarnya mempunyai cita-cita dan harapan untuk masa depan, yakni dikelak kemudian dia harus mampu dan berhasil mempunyai seorang istri penari sebagai pendamping hidupnya. Melalui proses yang panjang dan atas saran dari Oka Jauhari teman anggota Sanggar Arti Malang, maka dengan keberanian dan keyakinan yang mantap, sekaligus mendapat dukungan dari keluarga (tahun 1980), Sunari segera meminta S. Hardina untuk menjadi istrinya. Dalam proses perjalanan ini, Sunari dan S. Hardina dikarunia 2 orang anak, yaitu Galuh S. Melati yang mempunyai profesi seperti orang tuanya, yaitu sebagai penari dan guru, sedangkan yang bungsu, Panji Peksi Branjangan, yang saat ini masih menekuni seni pedhalangan dan kesenian Barongsai.


(c) dorongan untuk usaha mencari makan
Sebagai pelukis dan guru, disamping itu Sunari juga selalu berpikir bagaimana untuk dapat menciptakan ”sesuatu” lapangan pekerjaan atau kegiatan seni lainnya, agar apa yang sedang dikerjakan tersebut memberikan tambahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 23 tahun, Sunari masih aktif menekuni dan menjalankan pekerjaan mengajar seni lukis anak dengan cara ”door to door” (istilah yang digunakan Sunari) sampai sekarang, miskipun bina seni lukis dan tari tetap dilakukan. Dengan demikian, apabila melihat intensitas Sunari seperti itu, di dalam melakukan pekerjaan melalui pembelajaran seni lukis anak, menunjukkan dorongan yang sangat tinggi dan kesempatan baik itu, tetap dijaga kelangsungannya, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Memang, hal ini bukan sesuatu yang mudah dan gampang dalam waktu yang cukup lama untuk menjalaninya profesi tersebut, di mana dalam satu hari pekerjaan les privat seni lukis anak, sampai dilakukan Sunari sampai 2 atau 3 kelompok yang harus didatangi (dari rumah ke rumah). Di sisi yang lain, melakukan usaha berupa persewaan pakaian untuk digunakan dalam tari tradisional dan melakukan usaha dengan menerima pesanan kesenian, misalnya dalam acara keluarga seperti pertunjukkan tari (dilakukan dalam satu tim keluarga), dan sebagainya.

(d) dorongan untuk meniru tingkahlaku sesama
Sunari hidup dalam lingkungan pendidikan, kelompok senirupawan Kota Malang, komunitas seni tradisi Malangan, yaitu semenjak masih duduk di SR sampai masa dewasa dan berkeluarga. Sunari memaksa dirinya berbuat sesuai dengan kondisi lingkungan pendidikan dan kesenian. Sebagai salah satu pengurus (sebagai ketua dari Paguyuban Dalang-Pepadi Kota Malang), Sunari banyak waktu untuk berdialog dengan para dalang, sehingga muncul filosofinya dalam kehidupannya, yaitu wayang kulit sebagai tontonan, tuntunan, dan tatahan. Sedikit banyak mempengaruhi perwujudan dalam lukisan yang sedang dikerjakan. Artinya, lukisan Sunari tidak sekedar sebagai alat untuk berekspresi, tetapi juga bertutur dan menyampaikan tuntunan bagi yang melihat lukisannya.

(f) dorongan untuk berbakti
Dorongan ini mungkin ada dalam naluri manusia, karena merupakan makhluk yang hidup secara kolektif. Sebagai pelukis yang malang-melintang di kesenian tradisional, wajarlah kalau lukisan Sunari yang bertemakan wayang topeng Malangan atau wayang kulit wetanan. Proses mendalami dan mempublikasikan seni tradisi melalui karya lukisan. Kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk memperkuat dan memperteguh lingkaran kesenimannya, tidak saja di dunia luar saja tetapi juga keluarganya (anak-anaknya juga ikut berkecimpung dalam kegiatan seni tradisional). Hal ini istrinya, S. Hardina juga berprofesi sebagai penari dan guru tari. Sejalan dengan fenomena itu, maka salah satu bakti Sunari sebagai dorongan dalam dirinya yaitu mengupayakan, mempertahankan, mengisi, dan mengembangkan agar seni tradisi tetap masih dikenali dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.

(g) dorongan akan keindahan
Sebagai seorang yang memiliki predikat guru, pelukis, dan organisatoris di kesenian, maka Sunari selalu memperhatikan sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, keselarasan, dan kesatuan. Setiap ”apa” yang direncanakan, dikenakan, dikerjakan, dan sasaran yang berupa hasil akhir selalu berorientasi pada landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan yaitu kesenian.

Sistem organisma merupakan perilaku yang didasarkan atas konstitusi genitik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual (Koentjaraningrat, 2002). Sunari hidup dalam komunitas pelukis modern (miskipun sumber idenya berasal dari seni tradisi) dan komunitas seni tradisi Malangan dalam interaksi berperan sebagai pelukis, guru, dan organisatoris selalu menggunakan sarana komunikasi berupa bahasa (bahasa Malangan dan bahasa Indonesia) yang bercirikan dan di dalamnya mengandung kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan dan konsep yang makin lama makin tajam. Kemampuan sebagai guru seni lukis anak yang telah dijalani cukup lama itu akan memudahkan proses dalam pembelajaran seni terhadap anak-anak. Demikian pula pengetahuan seni tradisi Malangan yang tersimpan dalam diri Sunari akan memberi pengaruh pada generasi berikutnya. Salah satu contoh adalah kedua anaknya yang pada saat ini juga mendalami dan terlibat langsung dalam seni tradisi, yakni seni tari dan pedalangan (wayang kulit).




Pengetahuan dan pengalaman seni rupa, seni tradisi akan selalu bertambah dan berkembang. Pengalaman yang telah kian bertambah tersebut, kemudian disimpan dan diatur oleh akal akan menjadi sistem pengetahuan yang kemudian diwujudkan melalui Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari. S.Hardina atau kepada individu dan kelompok lain yang berkepentingan.

Kemampuan dan kapasitas berpikir Sunari dalam komunitas kesenian menjadi dasar untuk menciptakan berbagai macam kegiatan, antara lain: pameran lukisan, pertunjukkan seni tari, bina seni lukis anak dan tari remaja atau dewasa, dialog seni, memfasilitasi keperluan kostum tari, dan sekaligus sebagai studio untuk kegiatan melukis. Kemampuan Sunari untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep menyebabkan dia dapat mengembangkan dirinya sendiri sebagai suatu entitas sendiri, lepas dari lingkungan misalnya melalui Pemerintah Daerah, organisasi kesenian, dan masyarakat sekitarnya. Miskipun dalam pengalaman kesenian akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dalam segi pengadaan dana. Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut, identitas seorang Sunari sebagai pelukis, guru, dan organisatoris kesenian akan dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang dilakukannya, yaitu semenjak lahir sampai sekarang dan semuanya dilakukan dengan rasa peduli, kerja keras tanpa mudah menyerah, tetap bersemangat, dan intensitas berkarya untuk memperjuangkan pilihannya dalam kesenian.

PENUTUP

Dalam penutup ini dikemukakan kesimpulan, dan saran. Kesimpulan, merupakan jawaban dari permasalahan. Saran berkaitan dengan manfaat kajian.

1. Kesimpulan

Kajian ini menunjukkan figur Sunari yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kebudayaan yang meliputi: sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisma. Sanggar seni rupa Arti Malang, Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita, Dewan Kesenian Malang, Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pepadi Kota Malang, Bina Seni lukis & Tari, dan komunitas seni tradisi Malangan merupakan pedukung dari perilaku Sunari yang memiliki predikat sebagai guru, pelukis, pemerhati seni, dan budaya tradisional, ketua dan pemilik Bina Seni Lukis dan Tari yang menjadi fokus kajian dan tercermin dalam pembahasan.

Biografi Sunari dalam kajian sistem kebudayaan yaitu:

(1) sistem budaya: pengetahuan adalah usaha memenuhi kebutuhan spiritual. Kemudian pengetahuan diimplementasikan dalam bentuk karya, yang mengikutsertakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Teknologi dan pengetahuan akan menghasilkan ide/gagasan, selanjutnya diwujudkan dalam kesenian. Pengetahuan menghasilkan pengalaman merupakan hasil pewarisan dari lingkungannya. Perjalanan hidup Sunari menunjukkan bahwa keyakinan, nilai, ide/gagasan yang dilatarbelakangi pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat, dan minat mendorong Sunari untuk berperilaku dan menghasilkan kebudayaan yang bersifat konkrit;

(2) sistem sosial: ide, gagasan, dilatarbelakangi oleh pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat dan minat telah mendorong Sunari berperilaku dan menghasilkan wadah aktivitas baik aktivitas di komunitas pelukis, seni tradisi, dan aktivitas seni lukis anak. Bina Seni Lukis dan Tari Sunari.S. Hardina merupakan tindakan, di mana Sunari dan siswa, orang tua siswa saling berhubungan dan berinteraksi. Demikian juga di dalam organisasi kesenian saling berhubungan atau berinteraksi. Ia melaksanakan berbagai macam hal yang diterjemahkan pada optimalisasi program kegiatan kesenian, yaitu pameran lukisan, lomba seni lukis, pertunjukkan seni, dan sebagainya;

(3) sistem kepribadian: ciri watak seseorang individu konsisten (berkesenian), memberikan suatu identitas sebagai individu yang khusus. Artinya, ciri watak yang diperlihatkan secara lahir, konsisten, dan konsekwen dalam tingkah lakunya sehingga ia memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya. Kepribadian Sunari terisi dengan pengetahuan berupa: persepsi, penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi mengenai aneka macam hal yang berada dalam lingkungan yang bersangkutan; dan

(4) sistem organisma: perjalanan kesenian Sunari diawali dengan kemampuan melukis pada saat di STN Malang. Kemampuan tersebut diperoleh dari pengetahuan dan ketertarikan pada orangtuanya yang gemar melukis. Pengetahuan dan pengalaman Sunari dalam seni rupa dan seni tradisi akan bertambah dan berkembang. Selanjutnya diteruskan melalui aktivitas pada komunitas senirupawan Malang, komunitasi seni tradisi Malangan, dan bina seni lukis anak-anak. Dengan demikian, sistem organisma, menunjukkan identitas Sunari sebagai guru, pelukis, dan organisatoris kesenian akan dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang ia lakukan secara terus menerus.

2. Saran

Sunari sebagai pelukis kota Malang menghasilkan beberapa aktivitas, di antaranya sebagai guru, seniman dan kepala keluarga. Terkait dengan hal tersebut, kajian ini menyarankan, kepada: (1) Sunari, bahwa hakikat hubungan antara individu dan kesenian senantiasa dinamis. Hubungan itu, yaitu kesenian dapat mewujudkan iman, kesadaran, dan pandangan hidup yang dapat memperkuat dalam berkarya atau berkesenian. (2) Guru mata pelajaran seni budaya dapat memanfaatkan pengalaman Sunari dan S. Hardina (sebagai teman sejawat) untuk membahas seni lukis anak/tari, dan (3) masyarakat, bahwa keberadaan bina seni lukis dan tari ”Sunari S.Hardina”, dapat digunakan sebagai wadah pembelajaran seni. Bagi Pemerintah Daerah Kota Malang, bahwa wadah aktivitas seni ini, merupakan aset daerah yang potensial untuk didukung dan dikembangkan.


DAFTAR PUSTAKA


Harsojo. 1988. Pengantar Antropologi I. Penerbit Binacip
Kontjaraningrat. 1980 (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Buku
____________ . 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipt
Masunah, Juju. 2000. Sawitri Penari Topeng Losari. Yogyakarta: Penerbit Tarawang
Muhadjir, Imam.2001. Formulasi Perjalanan Kreatif Sunari. Malang: Katalog Pameran Lukisan Perjalanan III Sunari
___________. 2003. Menyimak keaneka ragaman karya pelukis kota Malang. Malang: Puri Art Gallery dan Dewan Kesenian Malang
_____________. 2004. Sepuluh Pelukis Dan Dunia Imajinasinya. Malang: Semar Art Gallery Malan
Ritzer, G & J.Donglas. G. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media-Terjemahan oleh Alimandan
Rohendi, Tjetjep Rohidi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia
Salim, Agus. 2001. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar