Jumat, 08 April 2011

PADEPOKAN SENI MANGUN DHARMA DALAM KAJIAN FUNGSIONALISME STRUKTURAL (M.Eksan-Malang Jatim)

Seni tari wayang topeng atau seni drama tari wayang topeng Malangan hingga kini tetap eksis. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas berkesenian dari Padepokan Seni Mangun Dharma yang fungsinya sebagai tempat belajar dan menularkan ilmu kesenian, termasuk bidang seni yang mendukung dalam seni pertunjukkan yang bercirikan Malangan kepada masyarakat, di Malang Raya. Untuk kepentingan akademik dan praktis dampaknya organisasi kesenian tersebut penting untuk dikaji. Permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana fungsi sistem, konsep keteraturan, dan kriteria yang dinilai fungsional. Metode yang diterapkan, yakni metode deskriptif. Hasil kajian menunjukkan Padepokan Seni Mangun Dharma merupakan fakta sosial yang memiliki konsep realitas emperis di luar imajinasi seseorang. Dalam hal ini seperti yang diperankan oleh M. Soleh Adi Pramono yang menciptakan hubungan berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu dalam sistem sosial, sehingga dapat diartikan sebagai struktur sosial, berupa unsur-unsur kebudayaan, sekaligus mencakup seluruh prinsip-prinsip, hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap, dan stabil.

Kata kunci: Padepokan Seni Mangun Dharma dan fungsionalisme struktural

PENDAHULUAN

Padepokan Seni Mangun Dharma, didirikan pada tanggal 26 Agustus 1989 yang berada di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, dengan pimpinan Direktur Artistik adalah M. Soleh Adi Pramono sekaligus sebagai ketua. Selaku Manager, yaitu Elisabeth Sekar Arum. Kegiatan-kegiatan yang diupayakan Padepokan Seni, secara tidak langsung merupakan kepedulian M. Soleh AP. dan Elisabeth Sekar Arum terhadap seni tradisi Malangan. Di mana mereka berdua ditutut untuk berfikir secara mendalam, agar selalu muncul kegiatan seni yang pada prosesnya terbagi menjadi kegiatan kelompok-kelompok seni tradisi. Kegiatan Padepokan Seni, untuk mencapai tujuan dalam rangka mengembangan bidang-bidang dari kegiatan utama yang meliputi kegiatan rutin, berupa: (1) menyelenggarakan kursus ketrampilan seni: tari, pedalangan, mocopat, tatah sungging wayang kulit, dan pahat ukir wayang; (2) menyelenggarakan latihan tetap; (3) bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menyelenggarakan lokakarya, festival, dan kolaborasi; (4) menggelar seni pertunjukkan secara periodik; dan (5) melayani jasa pertunjukkan. Semua kegiatan itu berpusat di Tumpang Kabupaten Malang. Padepokan seni tersebut, secara nyata menggambarkan ciri-ciri kehidupan masyarakat (kolektif) yang menunjuk pada unsur-unsur sistem sosial, yaitu: (1) dalam pelaksanaan kegiatan terdapat pembagian kerja; (2) dalam prosesnya terdapat ketergantungan antar individu; dan (3) terdapat kerjasama dan komunikasi dua arah, miskipun di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan fungsi antar individu. Di samping itu, berstatus sebagai organisasi kelompok kesenian yang memiliki kecenderungan memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari unsur-unsur sistem sosial. Dengan demikian, sebagai objek organisasi kelompok yang ada dalam masyarakat, juga memiliki fungsi dalam arti positip dan negatif. Artinya, Padepokan Seni dinilai fungsional dalam suatu sosial setempat.

Sejalan dengan itu, maka permasalahan yang diangkat dalam kajian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah fungsi Padepokan Seni Mangun Dharma agar tetap bertahan dalam seni tradisi Malangan? (2) bagaimanakah Padepokan Seni Mangun Dharma menekankan konsep-konsep keteraturan dan mengabaikan konflik dalam seni tradisi Malangan? (3) bagaimanakah kriteria yang dinilai fungsional dalam sistem sosial pada Padepokan Seni Mangun Dharma? Tujuan kajian ini untuk mendeskripsikan fungsi sistem yang penting diperlukan agar tetap bertahan dalam seni tradisi Malangan; mendeskripsikan Padepokan Seni Mangun Dharma yang menekankan konsep-konsep keteraturan dan mengabaikan konflik dalam seni tradisi Malangan; dan mendeskripsikan kriteria yang dinilai fungsional dalam sistem sosial pada Padepokan Seni Mangun Dharma. Manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah: (1) sebagai kajian mengenai organisasi kesenian, yakni aktivitas seni bercirikan Malangan yang sampai sekarang masih eksis dan sebagai pertimbangan pemikiran bagi pendukung maupun komunitas; (2) sumbangan pemikiran berupa strategi pembelajaran dan kepedulian dari komunitas seni tradisi Malangan dalam upaya menyelenggarakan pementasan bercirikan Malangan di tempat atau daerah lain; (3) sumbangan pemikiran dalam melestarikan seni tradisi Malangan dan sebagai pemahaman komunitas bahwa Padepokan Seni Mangun Dharma merupakan aset bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang.

Bertolak dari permasalahan dan untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap masalah-masalah yang akan dikaji, teori yang digunakan adalah fungsionalisme struktural. Fungsionalisme struktural di antaranya pendekatan fungsi, yakni cara memandang Padepokan Seni Mangun Dharma sebagai kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Pendekatan fungsional menurut T. Parsons (dalam Ritzer & J.Douglas 2005:121), bahwa ada fungsi penting yang diperlukan sistem, yaitu harus memiliki 4 (empat) fungsi sebagai berikut: (1) adaptation (adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya; (2) goal Attainment (pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya; (3) integration (integrasi): sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L); dan (4) latency (latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menompang motivasi.

Landasan teori selanjutnya, yang digunakan adalah pendapat dari Robert K. Merton (Ritzer 2003:23) bahwa teori fungsionalisme struktural berkecenderungan untuk memusatkan kepada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Lebih lanjut juga disampaikan konsep-konsep, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh karena fungsi itu bersifat netral secara ideologi; (2) disfungsi, sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial lainnya, sebaliknya ia juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif; (3) fungsi manifes, adalah fungsi yang diharapkan; dan (4) fungsi latennya, terkait dengan penyediaan kelas rendah yang luas yang memungkinkan peningkatan status sosial.

Landasan teori untuk menjawab permasalahan yang ketiga yaitu dengan mengoperasionalkan dari pendapat Herbert Gans, 1972 (Ritzer, 2003:23-24) bahwa, ”konsep atau fakta sosial”, dinilai fungsional dalam suatu sistem sosial. Ada 4 (empat) kriteria, masing-masing yang memiliki fungsi, yakni sebagai berikut: (1) fungsi ekonomi, meliputi tenaga, dana, lapangan kerja baru, dan pemanfaatan material; (2) fungsi sosial, meliputi norma sosial, altruisme, membayangkan strata, ukuran kemajuan, membantu kelompok, dan badan amal; (3) fungsi kultural, meliputi tenaga fisik yang diperlukan dan penerimaan strata sosial; dan (4) fungsi politik, meliputi kelompok politik, isu perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat, dan sistem politik.
Dengan demikian, fungsi diperlukan semua sistem. Fungsionalisme struktural di sini diartikan, sebagai teori yang digunakan untuk menganalisis Padepokan Seni Mangun Dharma sebagai organisasi kelompok kesenian di Kabupaten Malang. Artinya, teori dari T. Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert Gans dipandang sebagai satuan kajian atau alat analisis yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan, berhubungan satu dengan yang lain pada satuan integral, berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam kesatuan sistem. Konsep Padepokan Seni Mangun Dharma, juga dipahami sebagai satuan sistemik, yaitu pengertian yang menunjuk pada aspek individu, sistem sosial, dan kesenian.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah organisasi kesenian dalam seni tradisi Malangan. Metode yang dioperasional, yakni deskriptif. Latar kajian, Padepokan Seni Mangun Dharma di Dukuh Kemulan Tulusayu Desa Tulusbesar, RT 28 RW 03, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan, dan dokumentasi. Dalam wawancara yang diwawancarai adalah Pertama, M. Soleh Adi Pramono selaku pemilik, ketua Padepokan Seni Mangun Dharma dan sekaligus sebagai pelatih tari dan dalang wayang topeng Malangan. Kedua, Henri Supriyanto sebagai budayawan Malang dan pengurus Dewan Kesenian Kabupaten Malang.

Isi wawancara dengan informan, khususnya kepada M. Soleh AP. yakni, diprioritaskan pada aktivitas Padepokan Seni Mangun Dharma dalam seni tradisi Malangan dengan melibatkan di antaranya: tari, karawitan/mocopat, pengerajin topeng, senirupa, komunitas seni dan program-program kegiatan yang dilakukan baik kegiatan rutin, pertunjukkan, dan festival. Sedangkan wawancara dengan Henri Supriyanto, yakni informan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai kehidupan (pendukung seni dan masyarakat) dan aktivitas Padepokan Seni Mangun Dharma di Tumpang, Kabupaten Malang. Kemudian dari hasil penjelasan yang disampaikan oleh informan tersebut, dirangkai sebagai data lapangan. Bertolak dari data itu, selanjutnya dianalisis dengan mengoperasionalkan teori fungsionalisme struktural.

Pengamatan yang dilakukan terhadap M. Soleh AP. dan Padepokan Seni yang berkaitan dengan ruang atau tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan berupa tindakan, ucapan, ekspresi, dan gerakan tubuh. Sedangkan dokumentasi diperoleh dari VCD mengenai profil M. Soleh dan Padepokan Seni, buku wayang topeng Malangan, dan naskah tentang asal-usul terjadinya Dukuh Kemulan Tulusayu dan Desa Tulusbesar Tumpang, Kabupaten Malang. Dokumentasi tersebut diketahui berdasar dari hasil wawancara. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis isi dengan data yang berkaitan dengan Padepokan Seni Mangun Dharma.

HASIL KAJIAN dan PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan disajikan hasil kajian dan pembahasan mengenai Padepokan Seni Mangun Dharma. Dalam uraiannya antara hasil kajian dan pembahasan akan disajikan secara terpadu (tidak terpisah). Artinya, pembahasan tampak dalam hasil kajian itu. Selanjutnya Padepokan Seni sebagai fakta sosial disajikan sebagai berikut.
Dalam Kamus Pepak Basa Jawa (2001:754) pengertian padepokan, yaitu (1) tempat untuk bertapa atau tempat Pendeta, Resi,dsb (papan kanggo tapa utawa panggon Pandhita, Resi, lsp); (2) satu-satunya tempat untuk mengajar atau tempat belajar (papan sing kapiji kanggo nggegulang utawa papan pasinaon). Sedangkan secara umum pengertian seni merupakan daya untuk melaksanakan tindakan-tindakan tertentu yang dibimbing oleh pengetahuan khusus dan istimewa dan dijalankan dengan keterampilan. Seni merupakan kemampuan istimewa untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu menurut prinsip-prinsip estetis ( Bagus, 1999:988).
Berdasarkan pengertian tersebut, yang dimaksud dengan konsep dari padepokan seni yaitu satu-satunya tempat sebagai proses pembelajaran untuk mencapai daya dari tindakan yang melalui proses pembimbingan khusus dan istimewa yang dijalankan dengan keterampilan, berdasarkan prinsip estetis. Sedangkan nama Mangun Dharma (Darmo) diambil dari nama seorang Senopati yang hidup pada masa Sultan Agung (Raja Mataram-Yogyakarta). Senopati tersebut mendapat tugas yang berkaitan dengan hutan di wilayah timur (sekarang bernama gunung Buring-Bumiayu Kabupaten Malang), yang kemudian menjadi Kadipaten Malang. Perjalanan hidup Senopati Mangun Darmo berakhir di Desa Binangun-Tumpang, yaitu dengan meninggalkan selimut kain panjang (Kemul Jarik) yang berlumuran darah. Atas inisiatif warga setempat (Mbok Rondo Kuning), selimut kain panjang tersebut, dimakamkan (dikubur) yang seakan-akan merupakan makam Senopati Mangun Darmo (Mangun Yudho). Sejalan dengan itu, penggunaan nama Mangun Darmo juga merupakan usaha dari warga setempat (khususnya M. Soleh AP.) untuk melegimitasi agar nama itu tetap dikenal, dengan melalui aktivitas dalam seni tradisi Malangan.
Bertolak dari uraian tersebut, maka konsep Padepokan Seni Mangun Dharma (Mangun Darmo atau Mangun Yudho) adalah satu-satunya tempat sebagai proses pembelajaran untuk mencapai daya dari tindakan yang melalui proses pembimbingan khusus (secara istimewa), dijalankan dengan suatu keterampilan (keahlian) berdasarkan prinsip estetis dalam membangun (mangun) aktivitas seni tradisi Malangan, sebagai bentuk ibadah (dharma) pada kebudayaan, seperti halnya perilaku sosial yang telah diperjuangkan oleh generasi sebelumya.
Organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat dan memberikan batas-batas pada aksi, yang mungkin dilakukan secara organisatoris (dalam Abdulsyani, 2002:67). Merujuk dari beberapa pendapat yang mengartikan, bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial (Abdulsyani, 2002:68). Dengan demikian perangkat struktur sosial yang paling utama adalah status (kedudukan) sosial.
Sejalan dengan itu, menurut T. Parsons (dalam Ritzer dan J.Douglas 2005:127) status mengacu pada posisi struktural di dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistem yang lebih luas. Seorang aktor tidak dilihat dari sudut pikiran dan tindakan, tetapi dilihat tak lebih dari sebuah kumpulan beberapa status dan peran. Sementara yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial seseorang atau kelompok, secara langsung dapat mempengaruhi segala aktivitas, terutama dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Kecuali itu, nilai-nilai sosial menentukan tinggi rendahnya status dan peran seseorang di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Abdulsyani, 2002:54). Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat (individu, keluarga, dan pemerintah) terdapat seperangkat hubungan timbal-balik antar peran-peran sehubungan dengan status sosial masing-masing individu yang terlibat, karena masyarakat menyerupai sistem sosial.
Padepokan Seni Mangun Dharma, yang terdiri atas ketua, manajer, komunitas seni atau komunitas seniman, dan sebagainya, secara nyata menggambarkan ciri-ciri kehidupan masyarakat (kolektif) yang menunjuk pada unsur-unsur sistem sosial, di antaranya pembagian kerja, ketergantungan, kerjasama, komunikasi, dan perbedaan fungsi. Di samping itu, Padepokan Seni Mangun Dharma, berstatus sebagai organisasi kelompok kesenian yang memiliki kecenderungan memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari unsur-unsur sistem sosial tersebut. Miskipun sebagai objek organisasi kelompok yang ada dalam masyarakat, juga memiliki fungsional dalam artian positip dan negatif. Artinya, Padepokan Seni dinilai fungsional dalam suatu sosial sistem.
Padepokaan Seni Mangun Dharma menempati lokasi yang dekat dengan Jalan Raya, yaitu antara pasar Tumpang bagian belakang, menuju ke arah Poncokusumo Kabupaten Malang. Lokasi-tanah yang dipergunakan untuk Padepokan Seni, cukup luas yakni, berukuran 40m x 40m, dengan perincian sebagai berikut: Lokasi tanah bagian tengah dekat Jalan Raya, dibangun satu rumah berbentuk joglo berlantai dua, sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pemajangan koleksi dan benda produk dari padepokan seni sendiri. Rumah tinggal berbentuk joglo tersebut, dibagi-bagi menjadi ruang-ruang dengan dinding papan kayu. Pembagian ruang, antara lain ruang depan berfungsi sebagai ruang tamu juga berfungsi sebagai tempat pemajangan karya. Pada dinding ruang tersebut, terpasang 3 buah lukisan yang berukuran besar (2 lukisan karya Yon.W) dan dari salah satu lukisan tersebut, berjudul ”Anoman” karya pelukis Sunari Malang, serta beberapa lukisan karya Condro (anak M. Soleh AP). Di samping itu juga dipajang beberapa buah jenis tokoh wayang kulit, foto diri M. Soleh.AP, kemudian sebuah ukiran kayu yang berbentuk dewi Sri. Di ruangan sebelah kiri pintu tengah, diletakkan sebuah jodang yang berukuran pendek dan berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan beberapa tokoh topeng. Kemudian di sampingnya, diletakkan meja pendek yang berisikan sejumlah topeng dan caplokan. Sementara di sebelah jodang tadi, diletakkan sebuah kendang dalam posisi tegak. Di sebelah kiri dari letak jodang, di tempati sebuah almari buku dengan ukiran yang bercirikan Medoran. Kemudian di sebelahnya berdiri sebuah perangkat sebagai tempat untuk meletakkan gong. Gebyok dipasang pada dinding tengah, sebagai jalan untuk menuju ruang tengah yang pada sisi depannya diberi sekat semacam rana buatan (berkain) dan di depannya diletakkan sebuah bangku kayu berukiran. Gebyok pada bagian atas kanan-kiri dipasang dua kepala Kijang yang diawetkan, kemudian pada bagian tengah atas, dipasang beberapa lampu gantung yang berfungsi sebagai penerangan.
Sudut ruangan sebelah kanan gebyok yang berdekatan dengan meja kursi untuk tamu, diletakkan bangku dan meja pendek yang berukuran panjang, berisikan beberapa hasil produk berupa buku, rekaman audio, rekaman video, barang kerajinan, benda seni, kerajinan wayang topeng, wayang kulit, cendera mata, dan satu almari yang berisi buku dan beberapa topeng. Di bagian atas almarai tersebut, terdapat beberapa piala dari hasil lomba seni. Ruang keluarga terletak di lantai dua, berikut kamar tidur, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan di bagian belakang rumah dipergunakan sebagai garasi mobil dan sepeda motor.
Lokasi tanah bagian selatan, rumah tempat tinggal, dibangun juga sebuah tempat pertunjukkan dengan ukuran 8m x 12m, yang berkapasitas 20 orang. Apabila tidak ada pertunjukkan, tempat tersebut dipergunakan sebagai tempat latihan karawitan (tersedia dua buah set karawitan) dan pelatihan dalang wayang kulit. Lokasi tanah di sebelah selatannya juga dibangun tempat yang berukuran 8m x 12m, sebagai ruang pameran dan latihan tari. Di sebelah barat kedua bangunan itu, juga dibangun sebuah panggung terbuka yang sewaktu-waktu digunakan sebagai tempat pertunjukkan dan tempat latihan tari. Tanah di sebelah selatan dan barat yang lebih tinggi, juga didirikan bangunan semi permanen yang berfungsi sebagai ruang rias dan gudang. Sisa tanah yang lainnya, dipergunakan sebagai taman.
Bidang utama kegiatan Padepokan Seni Mangun Dharma, selama ini, di antaranya: musik tradisional, teater tradisional, tari tradisional, tari kontemporer, mocopat, jaran kepang, pedalangan, topeng, dan wayang kulit. Dengan mengamati sekian banyak kegiatan yang dilakukan oleh Padepokan Seni, maka kegiatan utama yang menjadi sasaran programnya adalah: pertunjukan seni, pameran seni rupa, penerbitan, pendokumentasian, pelatihan, layanan, dan informasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Padepokan Seni yang ingin dicapai adalah untuk melestarikan, mengembangkan, menyebarluaskan, mendokumentasikan, dan memberdayakan kesenian khas Malangan antara lain wayang topeng, pedalangan, karawitan, seni pahat, batik, dan tari.
Kegiatan-kegiatan yang diupayakan Padepokan Seni, secara tidak langsung merupakan kepedulian M. Soleh dan Elisabeth Sekar Arum selaku maneger terhadap seni tradisi Malangan. Di mana mereka berdua dituntut berfikir secara mendalam, agar selalu muncul kegiatan seni yang pada prosesnya terbagi menjadi kegiatan kelompok-kelompok seni tradisi. Kegiatan Padepokan Seni Mangun Dharma, tidak lain untuk mencapai tujuan dalam rangka mengembangan bidang-bidang dari kegiatan utama yang meliputi kegiatan rutin, berupa: (1) menyelenggarakan kursus keterampilan seni tari, pedalangan, mocopat, tatah sungging wayang kulit dan pahat ukir wayang; (2) menyelenggarakan latihan tetap; (3) bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menyelenggarakan lokakarya, festival dan kolaborasi; (4) menggelar seni pertunjukan secara periodik; dan (5) melayani jasa pertunjukan.

Sejalan dengan itu, konsep Padepokan Seni dan peranan yang dimainkan oleh M. Soleh Adi Pramono selaku pimpinan dan pelatih tari dalam mengembangkan Padepokan Seni Mangun Dharma, yaitu dengan beberapa materi kegiatan seni tradisi Malangan, merupakan aspek dinamis dari status sebagai pemilik Padepokan Seni. Dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan hak dan kewajibannya sesuai dengan status tersebut. Bagaimana pun juga status dan peranan tidak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Dengan demikian peranan yang dimainkan lebih banyak menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Hal ini seperti disampaikan oleh Soerjono Soekanto (1999:269), bahwa seseorang menduduki posisi dalam masyarakat dan menjalankan suatu peranan, yakni tercakup dalam tiga hal, (1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat, merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan; (2) peranan adalah konsep tentang apa yang dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi; dan (3) peranan dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Bertolak dari penjelasan tersebut, berarti perangkat struktur sosial yang paling utama adalah status sosial; sedangkan fungsi struktur adalah apabila peranan individu-individu yang tergabung dalam kehidupan masyarakat mampu memelihara kontinuitas dari apa-apa yang bersifat struktural. Individu-individu yang terlibat dalam seni tradisi Malangan, merupakan unsur-unsur dari fakta sosial (konsep Padepokan Seni) yang memusatkan perhatiannya kepada struktur sosial atau kepada pranata sosial, yakni mereka memandang sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam bentuk material yang utuh dan kompleks (Ritzer,2003:20). Lebih lanjut dikatakan, perhatian utama penganut paradigma fakta sosial terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial, pranata sosial, dan hubungan antara individu dengan pranata sosial. Dengan demikian hubungan antara Padepokan Seni Mangun Dharma dengan paradigma fakta sosial dalam seni tradisi Malangan, menunjukkan bentuk fungsional, baik dalam bentuk fungsi ekonomi, sosial, kultural, dan politik.

Dengan adanya kondisi Padepokan Seni, seperti sekarang ini, antara lain menunjukkan kondisi sebagai berikut: Pertama, menunjukkan kepada kumpulan individu. Kelompok dalam artian tidak lebih dari sejumlah individu, akan terlihat beberapa faktor-faktor yang bersama-sama saling berkaitan satu sama lain, merupakan suatu kondisi yang menyebabkan munculnya suatu fenomena di lingkungan seni tradisi Malangan. Kedua, dalam interaksi, menolak adanya perbedaan antara konsep individu dan kelompok. Artinya, Padepokan Seni dan individu dalam komunitas seni tradisi Malangan keduanya merupakan fenomena yang tak dapat dipisahkan. Tak ada individu tanpa kelompok dan sebaliknya. Ketiga, individu atau kelompok sanggar seni (komunitas) yang dikoordinasi oleh Padepokan Seni, menunjuk kepada sesuatu yang nyata-nyata ada dalam kegiatan seni tradisi Malangan, miskipun kadang-kadang dari pihak Padepokan Seni sendiri kurang mengakui kehadiran individu sebagai pendukung kegiatan seni. Keempat, pada dasarnya Padepokan Seni sama riilnya dengan individu, miskipun di dalamnya sama-sama memiliki gagasan, pengetahuan, nilai, dan keyakinan; sedangkan norma dari Padepokan Seni sendiri, sebenarnya menunjukkan sebagai wadah kegiatan dalam proses sosial.
Padepokan Seni merupakan organisasi kelompok kesenian (fakta sosial) yang terdiri atas ketua, manajer, guru, penari, penabuh gamelan, dan komponen lainya yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Artinya, struktur Padepokan Seni fungsional terhadap yang lain. Dengan demikian dalam fungsi sistem (teori T. Parsons) yang penting diperlukan agar tetap bertahan dalam seni tradisi Malangan, adalah sebagai berikut:
1. Adaptasi, yakni sebuah sistem harus mananggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem seharusnya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebutuhanya. Dalam hal ini misalnya, order kesenian yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Malang pada tahun 2006, berupa pementasan tari yang berjudul ”Ontran-Ontran” (melibatkan 80 orang) yang pada akhirnya, dibatalkan oleh panitia. Dengan fakta seperti itu, Padepokan Seni mengalami suatu kekecewaan. Untuk menanggulangi situasi eksternal Padepokan Seni yang gawat seperti itu, maka Padepokan Seni berusaha melakukan adaptasi, yakni menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, terutama kepada para pendukung pementasan tari. Cara yang dilakukan adalah, semua biaya produksi yang telah dikeluarkan selama ini, akan dicari jalan keluarnya dan sekaligus memberi ”penjelasan konkrit” tentang fakta yang sedang dialami Padepokan Seni, kepada para pemain dan komunitas yang mendukungnya.

2. Pencapaian tujuan, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Dalam hal ini, sistem kegiatan yang dioperasionalkan dalam Padepokan Seni adalah dengan merencanakan program-program kesenian, kemudian mengoperasikan dan mengevaluasi kegiatan yang telah dijalankan. Apakah pengelolaan kegiatan yang melibatkan komunitas seni tradisi Malangan telah mencapai tujuan atau belum. Dengan demikian Padepokan Seni Mangun Dharma dan komunitas akan memutuskan, apakah yang dimaksud dengan ”definisi” dari tujuan program yang akan dicapai bersama.

3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Dalam hal ini, kegiatan utama yang dikelola Padepokan Seni adalah cabang-cabang seni tradisi Malangan, seperti: (a) kursus tari, pedalangan, mocopat, tatah sungging (dan pahat ukir) wayang kulit; (b) latihan tetap; (c) lokakarya, festival, dan kolaborasi; dan (d) menggelar pertunjukan dan jasa pertunjukan. Dengan beberapa jenis cabang kegiatan seni tradisi Malangan tersebut, Padepokan Seni Mangun Dharma akan mensiasati pengelolaannya, baik dari segi dana, fasilitas sarana prasarana, dan pendukung lainnya. Semua itu akan diperhitungkan secara menyeluruh.

4. Pemeliharan pola, yakni sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menompang motivasi. Dalam hal ini hubungan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan budaya setempat, dan sebagainya. Padepokan Seni Mangun Dharma tetap berusaha menjaga agar pemeliharaan pola-pola yang telah disepakati bersama diupayakan tetap berjalan dengan baik.

Padepokan Seni Mangun Dharma sebagai kelompok kesenian atau organisasi sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran utuh saling menolong (Soekanto, 1990:182). Sejalan dengan itu, Padepokan Seni Mangun Dharma yang berstatus sebagai organisasi kelompok kesenian, mencerminkan hal yang standar (terpola dan berulang) dan berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dengan menekankan konsep-konsep keteraturan dan mengabaikan konflik dalam kelompok (teori Robert K. Merton), di antaranya sebagai berikut.
a) Fungsi adalah konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Pemusatan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri melalui pengamatan terhadap individu, untuk melihat lebih jauh karakteristik kelompok. Dalam hubungan dengan Padepokan Seni Mangun Dharma, maka terlebih dahulu harus mengamati karakteristik individu-individu pendukung seni tradisi Malangan, sebab dari kumpulan individu-individu tersebut, akan memberikan gambaran konkrit keberadaan kelompok kesenian. Adaptasi dan penyesuaian diri tersebut, yang mempunyai akibat positip. Dengan demikian apabila dilihat dari sudut ”keseimbangan bersih”, maka Padepokan Seni lebih fungsional bagi unit kegiatan seni tradisi tertentu.

b) Disfungsi menunjukkan struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial. Dalam hal ini keberadaan Padepokan Seni Mangun Dharma yang tersusun dari komunitas seni tradisi Malangan, yakni terbagi atas individu-individu ataupun sanggar-sangar seni yang ada di Kota atau Kabupaten Malang. Pada prosesnya juga menimbulkan akibat negatif, seperti halnya ketergantungan dari suatu sanggar tertentu yang tidak siap dalam mengembangkan dan mengelola seni tradisi dalam pelaksanaannya.

c) Fungsi nyata (manifes), yakni fungsi yang diharapkan. Dalam hal ini: gagasan, interaksi, dan interpretasi dari individu pendukung seni tradisi Malangan, yang tergabung dalam Padepokan Seni akan melahirkan fenomena sosial dari kehidupan di masyarakat.

d) Fungsi yang tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan (fungsi laten). Sebagai contoh, fungsi nyata dari Padepokan seni Mangun Dharma adalah untuk meningkatkan aktivitas seni tradisi Malangan bagi komunitas seni, tetapi juga terkandung fungsi tersembunyi, yakni menyediakan sejumlah besar anggota yang masih dalam proses pembelajaran. Dengan demikian akan membantu meningkatkan ”status” Padepokan Seni Mangun Dharma sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam fakta sosial menunjukkan status Padepokan Seni Mangun Dharma, sebagai kelompok sosial yang memiliki persyaratan-persyaratan, sebagai berikut: (1) setiap anggota kelompok sadar dan merasa sebagai bagian dari kelompok; (2) ada timbal balik antar anggota; (3) faktor-faktor yang dimiliki bersama, seperti nasib, kepentingan, tujuan, ideologi politis yang sama, dan lain-lainnya; dan (4) berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. Kegiatan utama Padepokan Seni Mangun Dharma yang meliputi seni jaran kepang, tari, pedhalangan, karawitan, mocopat, wayang topeng, pembuatan kerajinan topeng, dan wayang kulit merupakan struktur sosial yang diciptakan oleh Padepokan Seni Mangun Dharma. Di satu sisi juga memberikan sumbangan terhadap fakta sosial dan di sisi yang lain juga menunjukkan sistem ketergantungan dari beberapa individu dari unit kegiatan lainnya, yang berkaitan dengan status sosial ekonomi. Dengan demikian Padepokan Seni dapat fungsional bagi satu unit sosial tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit sosial yang lain.
Pada dasarnya fungsionalisme struktural memandang segala pranata sosial sebagai objek organisasi kelompok yang ada dalam masyarakat tertentu, serba fungsional dalam nilai baik positip maupun negatif. Artinya, dinilai fungsional dalam suatu sosial (teori Herbert Gans). Dengan demikian Padepokan Seni Mangun Dharma sebagai fakta sosial dapat dianalisis dari beberapa fungsi, sebagai berikut:

Fungsi ekonomi, yakni: (1) sebelum dan sesudah pelaksanaan pertunjukkan seni tradisi Malangan, pihak Padepokan Seni Mangun Dharma mengambil ”tenaga” dari warga setempat untuk membantu kegiatan pertunjukkan; (2) dalam pementasan-pementasan seni tradisi Malangan yang dilaksanakan oleh Padepokan Seni Mangun Dharma selama ini juga disisihkan sebagian dana dari hasil keuntungan untuk dipergunakan sebagai dana sosial; (3) dengan adanya pelaksanaan beberapa program-program kegiatan dari Padepokan Seni Mangun Dharma telah memberikan arti penting bagi warga setempat untuk membuka lahan pekerjaan baru, seperti: parkir kendaraan beroda dua dan empat, keamanan, transportasi, penjual makanan, dan jasa penginapan; dan (4) kegiatan pementasan wayang topeng untuk ruwatan bagi seseorang ataupun instansi tertentu. Kemudian pelaksanaannya diserahkan kepada Padepokan Seni Mangun Dharma, berdampak positip bagi warga setempat, terutama berkaitan dengan aspek ekonomi.

Fungsi sosial, yakni: (1) kekuatan yang mengikat dari norma-norma seperti cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat merupakan proses yang harus dilewati oleh suatu norma untuk menjadi bagian dari Padepokan Seni Mangun Dharma.Yang dimaksud sampai norma itu, oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Norma sosial dari Padepokan Seni Mangun Dharma dianggap sebagai peraturan, apabila norma-norma tersebut dapat membatasi serta mengatur perilaku orang-orang yang terlibat dalam seni tradisi Malangan; (2) menimbulkan sifat memperhatikan dan memprioritaskan kepada kepentingan anggota, terutama bagi anggota atau komunitas yang mengalami suatu sebab. Misalnya, ketika terdapat kesulitan dalam hal ekonomi yang membutuhkan santunan, maka pihak Padepokan Seni Mangun Dharma akan memperhatikannya atau mencari jalan keluarnya; (3) kesulitan dalam hal keuangan yang dialami oleh anggota pendukung seni tradisi Malangan (yang bersangkutan adalah seorang petani atau buruh tani) akan datang pada Padepokan Seni Mangun Dharma untuk meminjam uang sebagai penutup kebutuhan keluarga, yang nanti akan dilunasi atau dipotong apabila ada acara pementasan. Kondisi demikian bagi pihak Padepokan Seni Mangun Dharma sendiri, memberikan ”imaji” terhadap kesusahan hidup tanpa perlu mengalami sendiri, yakni dengan membayangkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh anggotanya; (4) kondisi sehari-hari dalam hal ekonomi dari beberapa anggota Padepokan Seni Mangun Dharma, menunjukkan ”ukuran” kemajuan kesenian bagi komunitas atau sanggar seni tradisi Malangan yang lain; (5) pembagian honorarium bagi pendukung dalam pementasan seni tradisi Malangan, berbeda satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan tingkat keahlihan atau spesialisasi individu dalam pertunjukkan seni tradisi Malangan; dan (6) berdasarkan rata-rata kondisi perekonomian dari beberapa pendukung seni tradisi Malangan, mengakibatkan pihak Padepokan Seni Mangun Dharma selalu mencoba melakukan kerjasama dengan pihak-pihak tertentu, misalnya pihak Pemda, Swasta, Kedutaan atau yang lainnya untuk dapat mengadakan kegiatan kesenian.

Fungsi kultural, yakni: (1) fungsi dari Padepokan Seni Mangun Dharma bagi masyarakat sekitar, memiliki arti penting sehingga apabila Padepokan Seni Mangun Dharma mengadakan kegiatan ”akbar” kesenian, maka masyarakat menunjukkan respon positip, baik bagi warga setempat maupun bagi komunitas seni tradisi Malangan untuk mendukung sepenuhnya dan (2) penabuh gamelan, anak wayang, dan pendukung seni lainnya yang masih dalam proses pembelajaran (belum profesional), akan diterima sepenuhnya oleh Padepokan Seni Mangun Dharma.

Fungsi politik, yakni: (1) individu ataupun kelompok dalam seni tradisi Malangan yang belum kuat ”posisinya” sebagai pelaku seni, akan berguna dan berjasa bagi Padepokan Seni untuk menjaga stabilitas kegiatan. Sekaligus sebagai daya saing yang ditimbulkan oleh sanggar seni yang sudah ”mapan” atau sudah tidak membutuhkan lagi Padepokan Seni; (2) program kegiatan yang dilakukan berupa pembinaan, pelatihan, pementasan, festival, dan kegiatan seni lainnya adalah dalam rangka untuk mencapai peningkatan profesional. Hal ini berpengaruh terhadap kualitas baik individu maupun bagi komunitas seni tradisi Malangan secara keseluruhan; dan (3) intensitas kegiatan kesenian yang dilakukan, akan memberi peranan dan status Padepokan Seni Mangun Dharma yang lebih stabil dan terpercaya dalam komunitas seni tradisi Malangan khususnya, dan komunitas seni tradisi daerah lainnya pada umumnya.




PENUTUP
SIMPULAN

Dalam membahas permasalahan dari fakta-fakta, digunakan suatu pendekatan yang mencakup pendekatan teoritik. Masalah pengoperasionalan dalam suatu teori, antara lain: sistem yang dimiliki, konsep-konsep keteraturan, dan kriteria fungsi sebagai sistem sosial di Padepokan Seni Mangun Dharma. Cara pandang seperti ini, secara emperik terwujud dalam corak, program, kegiatan yang dilakukan, dan interaksi sosial dalam komunitas seni tradisi Malangan. Secara rinci ringkasan pokok isi, adalah sebagai berikut:

Padepokan Seni Mangun Dharma adalah satu-satunya tempat yang berfungsi sebagai proses pembelajaran seni tradisi Malangan dengan cara: Pertama, melakukan adaptasi, yakni menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, terutama para pendukungnya. Kedua, pencapaian tujuan dengan merencanakan program-program kesenian, kemudian mengoperasikan sekaligus evaluasi kegiatan. Ketiga, mengintegrasikan jenis cabang seni tradisi Malangan baik pengelolaanya ataupun pendukung lainnya. Keempat, berusaha menjaga pemeliharaan pola-pola yang telah disepakati bersama.

Pemusatan perhatian pada fungsi dengan konsep keteraturan (mengabaikan konflik) dalam Padepokan Seni Mangun Dharma menunjukkan fungsi adaptasi dan penyesuaian diri yang mempunyai akibat positip; disfungsi menunjukkan pendukung dari Padepokan Seni, yaitu ketergantungan dalam mengelola seni tradisi; fungsi manifes menunjukkan Padepokan Seni memiliki fungsi yang diharapkan oleh komunitas dalam segala hal; dan pada fungsi laten menunjukkan status Padepokan Seni lebih kuat dan dominan.

Padepokan Seni Mangun Dharma sebagai fakta sosial, menunjuk M. Soleh AP. selaku pimpinan dan pelatih tari dengan suatu posisi dalam komunitas dan menjalankan suatu peranan yang menciptakan berbagai hubungan sosial antar individu-individu secara teratur dalam waktu tertentu yang bersifat struktural. Kondisi Padepokan Seni Mangun Dharma merupakan kumpulan individu, interaksi, dan komunitas yang di dalamnya sama-sama memiliki gagasan, pengetahuan, nilai, dan keyakinan. Dengan demikian Padepokan Seni Mangun Dharma menunjukan kriteria yang dinilai fungsional dalam aspek ekonomi, sosial, kultural, dan politik
Padepokan Seni Mangun Dharma bercirikan kehidupan kolektif yang menunjuk pada sistem fungsi dan kriteria yang dinilai fungsional. Dengan demikian sebagai penutup dari berbagai uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Teori fungsionalisme struktural dalam masyarakat, khususnya Padepokan Seni Mangun Dharma merupakan sistem sosial yang terdiri atas unit-unit kegiatan seni tradisi Malangan atau elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Apabila terjadi suatu perubahan pada satu unit kegiatan, akan membawa pengaruh pula terhadap bagian unit yang lain atau sebaliknya. Miskipun proses perkembangan kegiatan di Padepokan Seni Mangun Dharma terjadi konflik, akan tetap memusatkan perhatiannya sehingga unit-unit kegiatan seni lainnya tetap dalam keseimbangan. Penganut teori fungsionalisme struktural pada dasarnya berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain, sehingga perhatian fungsionalisme struktural ditunjukkan kepada fungsi-fungsi, dibandingkan dengan motif-motif.

SARAN

Berdasar kajian di lapangan dapat disampaikan saran sebagai berikut: 1) koordinasi antara materi kegiatan dari beberapa cabang seni tradisi Malangan yang selama ini dilakukan, perlu dipikirkan satu pilihan materi pertunjukkan yang dipersiapkan sebagai karya seni tradisi Malangan yang memiliki nilai globalisasi; 2) dalam menciptakan fenomena seni tradisi bercirikan Malangan di dalam realitas, diperlukan program kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah umum (beberapa sekolah yang dipilih) yang ada di Kabupaten dan Kota Malang; 3) sebagai organisasi kesenian diperlukan program kerjasama dengan Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Instasi, dan Kedutaan yang lain dalam bentuk kegiatan seni tradisi Malangan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja grafindo Persada - terjemahan Alimandan
Ritzer, George & J. Douglas,G. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana – terjemahan Alimandan
Sudaryanto dan Pranowo. 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Konggres Bahasa Jawa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Selasa, 05 April 2011

BIOGRAFI SUNARI DALAM KAJIAN SISTEM KEBUDAYAAN

BIOGRAFI SUNARI DALAM KAJIAN SISTEM KEBUDAYAAN
(M. Eksan, Kota Malang Jawa Timur)

Pelukis Sunari hingga kini tetap eksis. Hal itu ditunjukkan dengan aktivitas berkesenian di Kota Malang. Untuk kepentingan akademik dan praktis dampaknya sangat penting untuk dikaji. Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari? Metode yang diterapkan adalah metode deskriptif dengan konteks pendekatan kebudayaan. Teori yang digunakan, teori dari Koentjaraningrat yang diadopsi dengan teori tindakan Parson. Hasil kajian sebagai berikut:  (1) sistem budaya menunjukkan perjalanan hidupnya bahwa keyakinan, nilai, ide, gagasan yang dilatarbelakangi pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat dan minat mendorongnya berperilaku dan menghasilkan kebudayaan konkret, (2) sistem sosial, yakni ide, gagasan akan mendorongnya berperilaku dan menghasilkan wadah aktivitas seni; (3) sistem kepribadian, yakni ciri wataknya yang konsisten, memberikan identitas yang khusus; dan (4) sistem organisma menunjukkan identitasnya sebagai guru, pelukis, dan organisatoris kesenian.

Kata Kunci: biografi, pelukis, dan Sunari


PENDAHULUAN

Sunari, lahir 4 Juni 1951, di Jalan Gadang Kotamadya Malang dari pasangan bapak M. Sahid dan ibu Srianah. Ia merupakan anak tunggal dari ibu Srianah, sedangkan dari ibu yang lain Sunari memiliki 6 saudara (saudara dari satu bapak, lain ibu). Sunari belajar melukis pada saat di Sekolah Rakyat (sekarang SD). Kegemaran melukis mungkin karena ketertarikannya dari bapak M. Sahid, yang memiliki keahlian melukis, miskipun sang bapak dalam melukis hanya sebatas sebagai pelukis kampung. Selain melukis sang bapak juga ahli dalam pembangunan rumah, yakni sebagai tukang bangunan.

Pada saat menjadi siswa di Sekolah Teknik (ST) dan Sekolah Teknik Menengah (STM), sebenarnya Sunari telah merintisnya dan menjalani kegiatan seni lukis remaja. Miskipun dalam pemahaman tentang media dan teknik kesenirupaan masih terbatas dan objek yang dikerjakan juga masih berkisah tentang dunia remaja dan alam atau objek yang disukai oleh masyarakat sekitarnya. Namun demikian, aktivitas yang dilakukannya cukup menarik untuk disimak bersama. Mengapa demikian? Kita tahu Kota Malang pada tahun 1965-1970 masih alami dan sederhana. Sedangkan perkembangan Kota Malang sekarang sangat berbeda. Kota Malang saat ini sudah berkembang, maju, dan dipenuhi oleh bangunan-bangunan ruko serta bangunan bertingkat. Pada tahun-tahun itu, baginya merupakan tahun yang sulit untuk memperoleh bahan dan alat-alat untuk melukis. Di samping itu, predikat sebagai pelukis masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat.

Menjelang kelulusan dari STMN Malang, Sunari berjumpa dengan bapak Munadjat (Alm.) Tokoh teater Kota Malang yang merupakan tetangga dekat (satu kampung). Dari perjumpaan dengan bapak Munadjat inilah, Sunari mendapat informasi dan penjelasan secara detail dan meyakinkan, tentang keadaan jurusan seni rupa IKIP Malang yang pada saat itu, akan membuka pendaftaran mahasiswa baru. Bersamaan dengan itu, teman sepermainan Sunari yang bernama Moeng Mulyadi (Alm.) yang mendorongnya untuk segera mendaftarkan ke jurusan seni rupa IKIP Malang. Berdasarkan informasi dan penjelasan tersebut, Sunari (tahun 1973) melanjutkan studi ke jurusan Seni Rupa FKSS IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Tahun 1977 Sunari lulus sarjana muda (BA). Kemudian, sambil menunggu program sarjana seni rupa IKIP Malang, Sunari menerjuni profesi sebagai guru dan sekaligus mendalami seni tradisi Malangan yang pada saat di STM, sudah terlibat dan mencintainya.

Semasa Sunari menjadi mahasiswa jurusan seni rupa IKIP Malang, ia tertarik dengan organisasi seni. Kemudian masuk dan menjadi anggota pada sanggar Arti Malang. Sanggar Arti yang didirikan tahun 1975, merupakan wadah bagi mahasiswa-mahasiswa seni rupa IKIP Malang. Sanggar Arti, merupakan wadah kegiatan yang bertujuan untuk mendalami seni lukis dan sekaligus sebagai organisasi kesenian. Ia sebagai salah satu anggota sanggar tidak mempunyai target yang muluk-muluk, tetapi bagaimana ia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan sesama mahasiswa IKIP Malang atau dengan mahasiswa lainnya, hal itu dilakukannya dalam proses pendewasaan diri. Di samping terlibat di sanggar Arti Malang, ia juga memiliki jaringan dan aktivitas lainnya, seperti: komunitas seni tradisi Malangan, teater, dan seni lukis anak. Dengan keterlibatannya di seni tari Malangan (wayang topeng Malangan), ia telah melakukan interaksi dengan komunitas yang dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda dengan kehidupan sanggar Arti yang notabene adalah mahasiswa seni rupa. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya memang sangat berbeda dengan teman-teman yang ada di sanggar Arti Malang, khususnya dalam seni tradisi Malangan. Sedangkan pengalamannya di bidang seni lukis anak, diperoleh dari program-program kegiatan yang diadakan oleh sanggar Arti Malang. Di sinilah, Sunari muda yang memiliki bekal dari berbagai ketrampilan yang kelak akan memudahkannya untuk mengkonstruksi ide, gagasan, dan konsep melalui seni rupa dan seni tari yang merupakan jalan untuk mengisi dalam kehidupannya.

Sanggar seni rupa Arti Malang dan komunitas seni tradisi Malangan membuatnya semakin dewasa, sebab dalam wadah kesenian tersebut akan terjadi diskusi, benturan prinsip, dialog kesenirupaan, dan sekaligus pembahasan program-program kegiatan kesenian. Demikian pula pertemuan-pertemuan dengan tokoh senirupa nasional, seperti halnya dengan pelukis Nashar (Alm.), kritikus Sudarmadji (Alm.), Amang Rahman (Alm.), Rudi Isbandi, tokoh-tokoh seni tradisi Malangan, seperti  Seokimoen (Alm.), Rasimoen (Alm.), pak Karimoen, dan sebagainya telah memberi andil dalam upaya untuk mencintai profesinya di bidang kesenian.

Tahun 1973-1977 merupakan tahun-tahun yang dijalani Sunari sebagai mahasiswa jurusan seni rupa IKIP Malang. Pada saat itu, ia sudah memberanikan diri mengajar seni rupa di sekolah-sekolah formal. Sekolah formal yang menjadi ajang pendalaman pengajaran seni rupa, di antaranya: SDK Dinosious Malang (1976-1986), SDK Taman Harapan Malang (1979-1986), SMAK Kolese Santo Yusup Malang (1977-1981) dan SMA Negeri 5 Malang (1977). Hal itu dilakukan karena kondisi keluarga tidak mencukupi untuk biaya perkuliahan. Oleh sebab itu, ia harus mengajar di sekolah-sekolah sebagai salah satu jalan untuk mengatasi keadaan tersebut. Semasa perkuliahan di seni rupa IKIP Malang, ada suatu peristiwa yang sangat berkesan bagi Sunari, yakni peran ibu Dedy S. Winoto (dosen seni rupa), miskipun beliau dalam pembelajaran seni cukup keras dan tegas. Namun bagi Sunari, kehadiran ibu Dedy telah memberi keyakinan, motivasi, dan semangat untuk berani menjadi guru. Dengan keberanian dan perjuangan itulah, akhirnya Sunari dapat menyelesaikan studi dan sekaligus dapat membantu orang tua (menyelesaian kebutuhan sehari-hari). Selain ibu Dedy S.Winoto, ada salah satu dosen yang menurut Sunari sangat membantu dan mendukung dalam memilih profesi sebagai pelukis, yakni bapak Katjik S. (Alm.). Beliau memotivasi juga memberi kritik keras terhadap karya-karya lukisan yang dibuatnya, namun dibalik itu semua ternyata bapak Katjik S. telah membuka pemahaman, wawasannya dalam seni lukis. Hasil dari perjumpaan yang intensif dengan bapak Katjik S. tersebut, akhirnya Sunari memiliki kemantapan untuk memilih dan menekuni profesi sebagai pelukis.

Di samping berstatus mahasiswa, guru, dan anggota sanggar seni rupa Arti Malang (1975-1990), Sunari juga aktif di Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita (1984-1992) yang bertempat di jalan Kelud (berdekatan dengan bioskop Kelud yang merupakan bioskop misbar. Misbar artinya, bila gerimis terus bubar) Malang. Sunari, di paguyuban tersebut, mendapat kepercayaan dari Ibu Soedomo, yakni sebagai ketua seksi tari dan sekaligus bertempat tinggal di tempat tersebut (mendapat ijin menempati salah satu sudut ruangan dari areal paguyuban). Di tempat inilah, banyak cerita atau fakta yang dibuat oleh Sunari, yakni berupa pengalaman-pengalaman kesenian. Pengalaman itu baik yang berkaitan dengan seni lukis anak, seni tradisi Malangan, komunitas pelukis kota Malang, bahkan keinginannya mewujudkan cita-citanya, yaitu memiliki rumah sendiri (Sunari bekerja keras untuk membangun rumah). Bersamaan dengan itu, salah satu lukisan Sunari yang berjudul ”Yesus” telah dipilih oleh bapak Sudarmadji untuk koleksi Museum Fatahillah Jakarta. Pada tahun 1984, Sunari memperoleh kesempatan baik untuk menempuh sarjana seni rupa yang semula sempat terhenti dikarenakan oleh kondisi dan waktu yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kembali. Tahun 1985, Sunari lulus sarjana seni rupa IKIP Malang.

Selama kurang lebih 8 tahun bertempat tinggal di Paguyuban Laras Budi Wanita di jalan Kelud Malang, kemudian Sunari pindah (tahun 1992-sekarang) rumah ke jalan S. Supriyadi Malang sebagai tempat tinggal sekeluarga. Di sini Sunari mendirikan bina seni lukis dan tari yang diberi nama Sunari.S.Hardina yang bertujuan untuk menampung bakat anak-anak di bidang seni lukis, seni tari tradisional, studio lukis, dan tempat berkumpulnya komunitas pelukis dan komunitas seni tradisi Malangan.

Sejarah menurut orang-orang yang mengalami peristiwa, yaitu sejarah sebagai pengalaman. Cerita sejarah sebagai peristiwa yang ditulis oleh ahli sejarah akan berbeda dengan cerita oleh orang yang langsung mengalami peristiwanya. Orang-orang yang terlibat peristiwa memiliki sejarah sendiri sebagai pengalamannya, mereka mengalami sejarah tanpa tahu, bagaimana hasil akhirnya. Pengalaman ini akan terbatas, tergantung dari posisinya dalam ruang fisik, sosial, dan budaya. Dengan demikian, sebuah peristiwa sejarah adalah gabungan antara pengalaman pribadi (biografi) dengan dinamika kondisi sejarah. Biografi dan sejarah akan bergabung membentuk lilitan kompleks yang oleh ahli sejarah dinamakan peristiwa sejarah. Kata biografi sendiri sebenarnya mengacu pada arti sebuah catatan sejarah dari kehidupan seseorang (tercatat tahun 1683). Kata tersebut diambil dari bahasa Yunani akhir, yakni biograpia. Hal ini juga disampaikan oleh Nevins (dalam Masunah, 2000:7-8), biografi dapat diartikan sebuah bentuk sejarah untuk sekelompok masyarakat, tetapi untuk seseorang laki-laki atau perempuan...Biografi bermanfaat sebagai suatu kajian dari kekuatan kesejarahan.

Berdasarkan ringkasan yang dibuat Sutardji (Salim, 2001:170) dikemukakan bahwa, pada umumnya konsep biografi adalah”the written history of a person’s life”  (kamus Webster’s), tetapi kamus Oxford tidak mengakui dan menguraikan biografi sebagai ”written record of the life of an individual” kata life dilihat dari dua sisi pandangan: (a) Person dan individual kelihatan sinonim: gambaran person memiliki argumentasi lebih kuat sebagai konsep kemanusian, sedangkan individual memiliki pengertian dan kategorisasi yang luas; (b) dan argumentasi kuat, membedakan antara record dengan history menampilkan keadaan yang lebih formal, memiliki perspektif yang luas dan beragam. Sejalan dengan pernyataan tersebut, biografi merupakan kajian sejarah atau kisah perjalanan hidup seseorang. Dalam kajian sejarah, biasanya pandangan kausalitas memegang peranan penting. Dalam sebuah biografi, kausalitas berhubungan dengan latar belakang dan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari peran sosialnya dan struktur sosial penyangga hidup sang tokoh (Masunah, 2000:8). 
      
Bertitik tolak dari fenomena pelukis Sunari di atas, menunjukkan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan aktivitas kesenian. Hal itu, sangat menarik untuk dikaji, yakni Sunari sebagai salah satu pelukis yang mewarnai kegiatan kesenian di Kota Malang. Dengan pertimbangan tersebut, maka kajian studi ini, dengan judul Biografi Sunari dalam kajian sistem kebudayaan.

Permasalahan yang diajukan, adalah bagaimanakah sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari? Dengan demikian tujuan yang akan dicapai adalah mendeskripsikan sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku dalam biografi Sunari. Sedangkan manfaat yang diharapkan: (1) sebagai kajian biografi dan aktivitas Sunari memiliki karakteristik serta sampai sekarang ia masih eksis dan berkarya; (2) sumbangan pemikiran berupa strategi pembelajaran seni, aset bagi masyarakat, dan Pemda Kota Malang.

Berkaitan dengan sistem kebudayaan, dalam bahasa Yunani, kata sistem yaitu ”systema” (system) yang berarti, sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang tidak terpisahkan. Kebudayaan menurut Tylor (dalam Harsojo, 1988:92) adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemapuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Koetjaraningrat (1996:72) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian, sistem kebudayaan adalah sesuatu himpunan bagian-bagian yang tergabungkan secara alamiah (oleh budi daya manusia), sehingga menjadi kesatuan dan terpadu dalam keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung gagasan, ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan, tindakan, dan karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar dalam lingkungan baru dengan segala tantangannya yang bersifat kultural.

Jika pendekatan di atas, digunakan untuk mengungkap kehidupan pelukis Sunari, maka aktivitasnya merupakan hasil dari interaksi sosial baik dalam keluarga maupun masyarakat, sehingga penekanan biografi Sunari akan dikaji dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Merujuk Rohendi (2000:21) dikatakan bahwa pendekatan kebudayaan, yakni memandang kebudayaan sebagai suatu sistem. Kebudayaan di sini diartikan sebagai konsep yang digunakan untuk menganalisis dan sekaligus sebagai obyek kajian. Pengertian kebudayaan dipandang sebagai satuan kajian terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan, berhubungan satu dengan yang lain dalam kesatuan intergral, berfungsi beroperasi atau bergerak dalam kesatuan sistem. Konsep kebudayaan dipahami sebagai satuan sistemik, pengertian yang merujuk pada aspek individual, sosial maupun budaya merupakan unsur yang berfungsi sebagai pedoman dan energi secara timbal balik. 

Pembahasan konsep kebudayaan dari sisi pandang yang menyeluruh dan terintegrasi, secara lebih rinci digunakan teori dari Kontjaraningrat yang diadopsi dengan teori tindakan Parson (Ritzer & Donglas, 2005:121-136) yakni, dengan pendekatan kebudayaan. Secara keseluruhan teori, dibedakan menjadi empat komponen, masing-masing dapat dilihat sebagai satuan yang memiliki sifanya sendiri. Komponen tersebut, yaitu: Pertama, sistem budaya (cultural-system), yakni melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka bertindak. Sistem budaya merupakan komponen abstrak yang terdiri: pengetahuan-pengetahuan, gagasan, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang berfungsi mengendalikan, menata, dan memantapkan tingkah laku atau tindakan-tindakan individu. Kedua, sistem sosial (social-system), yakni sejumlah aktor-aktor individual yang saling berintereaksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan ”mengoptimalkan kepuasan” yang hubungannya dengan situasi mereka. Ketiga, sistem kepribadian (personality-system), yakni sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang teroganisir, komponen dasarnya adalah unit-unit motivasi tindakan. Dengan kata lain dorongan lebih baik di pandang sebagai bagian dari organisma biologis. Keempat, sistem organik (organik-system), yakni organisme perilaku didasarkan atas konstitusi genitik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual. Perubahan sosial dibentuk oleh biologi, yakni: (a) proses diferensiasi, aspek yang ensensial yaitu kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat, (b) sistem berdasarkan kreteria askripsi ke sistem yang berdasarkan kreteria prestasi, dan (c) sistem nilai, masyarakat semakin terdeferensiasi memerlukan sistem nilai yang menggariskan ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan sebagai sistem secara sibernetik, menempatkan sistem budaya sebagai unsur atau bagian yang berfungsi menata, mengendalikan, atau mengatur tindakan seseorang dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara sosial maupun secara individual.

Sehubungan dengan permasalahan dan untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap masalah, maka teori yang digunakan yaitu teori sistem tindakan (Parson dan Koentjaraningrat). Metode yang digunakan, deskriptif. Latar kajian yakni Kota Malang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan, dan dokumentasi. Dalam wawancara yang diwawancarai yaitu: pertama, Sunari; kedua, Imam Muhadjir sebagai sahabat dan anggota sanggar seni rupa Arti Malang. Isi wawancara dengan Sunari diprioritaskan pada aktivitasnya sebagai pelukis, guru, penari, organisatoris, dan kepala keluarga. Wawancara dengan Imam Muhadjir berkaitan dengan karya lukis. Kemudian dari hasil penjelasan yang disampaikan, dirangkai sebagai data lapangan. Sedangkan dokumentasi diperoleh dari katalogus dan foto-foto lukisan karya Sunari. Bertolak dari data itu, selanjutnya dianalisis dengan mengoperasionalkan teori sistem tindakan.

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Sunari salah satu pelukis yang tetap eksis di Kota Malang. Pelukis yang beralamat di jalan Sudancho Supriyadi IX/99, RT 10 RW 04 Sukun Malang. Profesi yang dipilih yaitu sebagai pelukis, guru seni rupa Charis International Academy Malang, guru lukis privat, dan pemerhati seni dan budaya tradisional. Statusnya, sudah menikah (istri bernama Sri Hardina, profesi guru tari dan penari). Sedangkan anak pertama bernama Galuh S. Melati (lulus Sarjana Jurusan Bahasa Universitas Malang tahun 2003, profesi sebagai guru tari, penari, dan sudah menikah); dan anak kedua, Panji Peksi Branjangan, lulus S1 Unibraw dan sekarang mendalami dunia dalang dan kesenian Barongsai.

Pengalaman pameran seni rupa sebagai berikut, pameran bersama kelompok Sanggar Arti dan kelompok lain mulai tahun 1974 sampai sekarang. 76 kali pameran bersama di Malang, 2 kali pameran bersama di Blitar dan Madiun, 2 kali pameran bersama di Jember dan Banyuwangi, 2 kali pameran bersama di Surakarta, 2 kali pameran bersama di Yogyakarta, 5 kali pameran bersama di Surabaya, 1 kali pameran bersama di Bandung, 2 kali pameran bersama Pekan Wayang Nasional di Jakarta, 2 kali pameran bersama Bienalle Pelukis Indonesia di TIM Jakarta, 2 kali pameran bersama 17 Pelukis Malang di TIM Jakarta, 2 kali pameran bersama di Denpasar Bali, 2 kali pameran bersama sanggar Arti di Bontang Kaltim, 1 kali pameran berlima di Brisbane Australia, 1 kali pameran berlima di Rockhamton Australia dan pameran tunggal 3 kali di Malang.

Pengalaman berorganisasi seni, di antaranya: sebagai anggota Sanggar Senirupa Arti Malang (1974-sekarang), Ketua Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari.S.Hardina” (1990-sekarang), Penasehat Taman Budaya Wisata Senaputra (1990-sekarang), Ketua Badan Pengurus Harian Seni Tari Dewan Kesenian Malang (1985-1988), Ketua Badan Pengurus Harian Karawitan Dewan Kesenian Malang (2000-2004), Ketua Pengkajian dan Pengembangan Persatuan Padalangan Kota Malang (2000-2004), dan Ketua Seksi Tari Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita (1976-1990).

Pemilihan dunia seni tradisi bagi Sunari membawa pengalaman batin yang begitu mendalam. Sunari bertahun-tahun bersentuhan dengan seni tradisi yang sekaligus menghirup roh budaya Jawa yang memiliki sistem nilai budaya. Di dalam sistem nilai budaya itu, terdapat konsep yang hidup berupa alam pikiran dari warga masyarakat. Apa yang bernilai, berharga, dan penting bagi hidup sehingga berfungsi untuk mengendalikan, menata, dan memantapkan tindakan-tindakan untuk berinteraksi dalam kesenian. Oleh sebab itu, nilai-nilai budaya dalam kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga dari suatu kebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:190). Sunari sejak kecil hidup di lingkungan desa yang kaya dengan kesenian tradisional yang memiliki nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat, seperti wayang purwa, wayang topeng, tandhak, dan jaran kepang. Hal tersebut juga mendapat dukungan dari sang bapak yang gemar melukis. Kemudian dalam proses kesenian selanjutnya, dipertajam dengan pengetahuan kesenirupaannya melalui figur-figur dan kelompok kesenian yang memotivasinya sebagai pelukis, antara lain bapak Katjik. S (Alm.), ibu Dedy S. Winoto, bapak Munadjat (Alm.), Imam Muhadjir, Sanggar Arti, dan komunitas seni tradisi yang sangat berperan dalam perjalanan hidupnya. Itulah sebabnya, nilai-nilai yang ditanamkan oleh lingkungan dalam hal kesenian, tak dapat digantikan dengan nilai budaya lain, selain seni tradisi sebagai sumber ide dalam berkarya.

Pandangan hidup biasanya mengandung nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang dipilih secara selektif oleh individu. Pandangan hidup merupakan seperangkat nilai yang dianut oleh Sunari. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diyakini kebenarannya, sehingga pandangan hidupnya menjadi pedoman berperilaku, berkarya atau berkesenian, dan untuk memecahkan masalah.

Keyakinan merupakan sekumpulan sikap sebagai landasan dari kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap menguasai kehidupan. Dalam hal ini Sunari sebagai orang Jawa, sebagai sosok Arema (Arek Malang), termasuk golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan kebudayaan asli (budaya Jawa), yakni agama beserta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, sikap nrima terhadap peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta.

Faktor bawaan dari Sunari yang diperlihatkan, yaitu semenjak tahun 1960 (di Sekolah Rakyat), kemudian dilatih pada saat remaja (status murid ST dan STM) yang menunjukkan kecintaan dan keikutsertaannya dalam seni tradisi Malangan. Selanjutnya dalam potensi seni lukis dikembangkan melalui studi di Jurusan Seni Rupa IKIP Malang, sebagai tempat untuk melatih dan mengembangkan bakat serta kecerdasan. Sejalan dengan itu, lingkungan pada saat di kampus juga sangat mendukung, seperti halnya Sunari ikut terlibat sebagai anggota sanggar seni rupa Arti Malang, yang prosesnya merupakan wadah ”penggorengan mental” (istilah Imam Muhadjir) yang menjadikan Sunari semakin matang dan dewasa. Dengan demikian, bakat dan kecerdasan yang dimiliki Sunari lebih banyak ditentukan oleh faktor bawaan yang dilatih dengan jalan bergaul dengan komunitas seni tradisi Malangan. Kemudian dilanjutkan dengan kuliah ke Jurusan Seni Rupa IKIP Malang agar dapat berkembang secara potensial dikemudian hari.

Dengan bekal berupa bakat, kecerdasan, dan disertai dengan kecintaanya terhadap kesenian. Sunari berserta istri yang bernama Sri Hardina, pada tahun 1990 mendirikan Bina Seni Lukis dan Tari ” Sunari.S.Hardina”, yaitu dengan kesadaran yang utuh untuk menciptakan proses pembelajaran kesenian baik melalui pembelajaran seni tari tradisional, pembinaan, pelatihan seni lukis anak, dan memfasilitasi untuk penari seni tradisi yang membutuhkan separangkat kostum tari. Bakat, pengetahuan, dan pengalaman dalam berkesenian, akhirnya Sunari berhasil mendirikan wadah kegiatan dan mengisinya dengan berbagai aktivitas yang di dalamnya terkandung unsur interaksi sosial. Penciptaan interaksi sosial, antara lain dengan: komunitas pelukis, komunitas seni tradisi Malangan, orang tua siswa, dan interaksi dengan pihak-pihak yang membutuhkan kesenian. Pihak-pihak yang membutuhkannya, seperti: Pemda Kota Malang, instansi pemerintah atau swasta, dan perorangan yang mempunyai ”acara” keluarga (pernikahan, syukuran, dan sebagainya).

Pengetahuan adalah usaha memenuhi kebutuhan spiritual atau bathin manusia yang ingin tahu. Pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam bentuk karya kebendaan, dalam hal ini Sunari menterjemahkannya dalam bentuk karya lukisan, yang diawali dengan gaya naturalis, realis, dan dekoratif (lambat laun gaya itu ditinggalkan dan kemudian berubah gaya). Apalagi dengan perhatiannya yang besar pada dunia seni lukis anak-anak, ia sadar atau tidak telah menggoreskan sesuatu pada proses kreatif Sunari. Namun demikian di dalam proses perwujudan lukisan, Sunari selalu ingin bertutur kepada apresiator. Lukisan Sunari akan muncul lukisan-lukisan yang naratif, misalnya lukisan yang berjudul ”Manusia Batu”. Menurutnya, ketika Yang Maha Esa menciptakan alam ini, diciptakan batu, kemudian pohon atau tetumbuhan dan binatang, yang terakhir adalah manusia. Manusia atau batu maupun pohon dan binatang itu semuanya tidaklah mempunyai nurani. Yang mempunyai nurani itu, berarti derajatnya lebih tinggi, adalah makhluk yang dinamakan manusia. Karena predikat binatang, manusia batu adalah manusia yang sejatinya tidak sederajat manusia lagi, itu sekarang yang berada di tengah-tengah kita, demikian Sunari menuturnya.

Teknologi dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan dalam kebudayaan. Sunari dengan pengetahuannya, ia dapat menghasilkan berbagai ide, gagasan yang ditunjukkan dalam karya, meskipun pengetahuan tidak seluruhnya dari hasil pengalaman sendiri, melainkan ada pengetahuan yang diperoleh dengan belajar dari orang lain dan dengan peniruan. Sunari sebagai pelukis mungkin mewarisi bakat yang dimiliki orang tuanya, belajar seni rupa di IKIP Malang. Kemudian dilengkapi dengan belajar berorganisasi sebagai anggota sanggar Arti Malang, dan belajar seni tari dari komunitas seni tradisi Malangan. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan tak dapat dipisahkan dari kehidupan berkelompok dan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, perjalanan hidup Sunari menunjukkan bahwa ide, gagasan yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat, dan minat mendorong Sunari untuk berperilaku dan menghasilkan sesuatu kebudayaan yang bersifat konkret.

Sanggar Arti, Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita, Dewan Kesenian Malang, Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pepadi Kota Malang, dan Bina Seni Lukis-Tari ”Sunari.S.Hardina” merupakan wadah bertemunya individu, kelompok yang saling berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan, dan bahkan dengan masyarakat luas. Bagi Sunari dalam menterjemahkan segala aktivitas lain, pada prosesnya selalu mengikuti norma sebagai bentuk aturan tentang ”apa-apa” yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh siapa pun tak terkecuali bagi Sunari sendiri. Dengan beberapa wadah kesenian tersebut, menunjukkan Sunari berhasil mengikuti norma-norma yang telah disepakati bersama, sehingga lahirlah kepercayaan secara organisatoris yang diserahkan kepada Sunari. Seperti halnya, Sunari menjabat sebagai Penasehat Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pengurus DKM, Ketua Seksi Laras Budi Wanita, dan Ketua Pengkajian dan Pengembangan Pepadi Kota Malang.

Sistem Sosial merupakan pola-pola aktivitas tindakan berinteraksi bagi Sunari dalam kehidupan bermasyarakat. Pola tindakan interaksi merupakan rangkaian aktivitas dan tindakan. Di mana Sunari dalam organisasi kesenian saling berhubungan dan berinteraksi dalam hal melaksanakan berbagai macam hal. Peran Sunari ditunjukkan dalam kegiatan seni yang tetap. Selain melukis, Sunari juga melakukan Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari S.Hardina”, di mana terbagi dua kelompok kegiatan, yaitu: (1) guru tari oleh S. Hardina dan Galuh S. Melati yang memberi pelatihan tari tradisional kepada siswa-siswa remaja dan mahasiswa; (2) guru seni lukis anak, diberikan langsung oleh Sunari sendiri, yang diikuti oleh anak-anak usia tingkat TK dan usia tingkat SD. Dengan demikian, dalam proses tersebut akan terlihat unsur guru, pelatih tari, murid, orang tua, dan warga setempat yang saling berhubungan baik secara langsung ataupun terbatas pada pengamatan saja. Aktivitas seni di Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari S.Hardina” merupakan penjabaran dari program kegiatan yang diperoleh dari ide, gagasan Sunari (dan Sri Hardina) sebagai ketua dan pelukis, sedangkan seperti rumah (studio), lukisan, kostum tari, VCD berisi kegiatan tari S. Hardina, dan sebagainya merupakan benda-benda hasil karya sebagai hasil fisik dari aktivitas Sunari dan Sri Hardina dalam kegiatan kesenian, yakni seni lukis dan tari.

Sistem Kepribadian memiliki fungsi sebagai sumber personalitas, kebutuhan, dan motivasi tindakan sosial. Sunari sebagai pelukis, guru, dan pemerhati seni dan budaya tradisional, yang suatu saat juga mengkordinir komunitas seni tradisi melalui Pepadi Kota Malang, Taman Budaya Senaputra, LBW, DKM dan kelompok seni lukis anak, di mana terdapat individu-individu yang memiliki unsur-unsur akal dengan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu yang disebut dengan kepribadian. Istilah kepribadian berarti ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya identitas sebagai individu khusus (Koentjaraningrat,1980:116). Kepribadian Sunari yang memiliki predikat sebagai pelukis, guru, pemerhati seni dan budaya tradisional, dan sekaligus sebagai pemilik bina seni lukis dan tari, sangat berbeda dengan individu-individu yang terlibat di dalam organisasi kesenian di Malang. Sejalan dengan konsep kepribadian, pembahasan ini akan digunakan unsur-unsur kepribadian dalam sistem kepribadian, sebagai berikut:

1. Pengetahuan
Unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa Sunari yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya (terekam). Bagi Sunari yang telah terbentuk melalui lingkungan seni tradisi dan modern, yaitu semenjak masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Pengetahuan dan pengalaman yang dialaminya melalui penerimaan pancaindera dan alat penerima organisma (sesuatu yang hidup terdiri dari bagian-bagian untuk mempertahankan eksistensi sebagai satu sistem yang berproses terhadap lapangan, dalam Koentjaraningrat 1980:117) yang lain. Penerimaan organisma yang ada pada diri Sunari akan diproses, diseleksi yang kemudian menjadi suatu susunan ide, gagasan yang diproyeksikan melalui karya lukisan, dan komunitas seni secara konkrit.

Seni lukis yang digeluti bertahun-tahun oleh Sunari bersentuhan dengan seni tradisional antara lain: wayang topeng Malangan dan wayang kulit wetanan merupakan pilihan yang paling menarik perhatiannya untuk digali dan dikembangkan baik dalam segi visual maupun dalam filosofinya. Seperti apa yang dikatakannya bahwa: ” Lukisan-lukisan saya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur seni tradisi, di mana kehidupan seni tradisi mengandung tiga unsur, yaitu: seni sebagai tontonan, seni sebagai tuntunan, dan seni sebagai tatanan”. Dengan demikian lukisan Sunari pada umumnya selalu ingin ”bertutur”, sejauh Sunari ada kesempatan untuk membabarkan ide-ide kreatif dalam kanvas-kanvasnya, maka akan muncul lukisan yang naratif. Hal ini dapat dilihat pada lukisan yang berjudul ”Milik Nggendong Lali”; ”Ratu Edan”; ”Kantong Bolong”; ”Manusia Binatang”, ”Penari Gandrung”; ”Manusia Batu” dan sebagainya. Hal tersebut seperti apa yang ditulis oleh Imam Muhadjir (2001:3), lukisan-lukisan yang pernah dibuat Sunari bukanlah sekedar konstruksi gagasan dan ide, lebih dari itu memuat nilai-nilai yang sarat makna. Ia mengadopsi ajaran pedhalangan, bahwa wayang bukanlah sekedar tontonan tetapi juga memuat tuntunan. Karya Sunari bernuansa kesenian tradisional sesungguhnya mencerminkan kepeduliannya yang sangat besar terhadap kesenian itu. Warna-warna hijau, merah, kuning, dan putih yang kadang dipadu warna keemasan berterbaran di permukaan kanvasnya adalah refleksi akan kesadaran spiritualnya.

Karya lukis Sunari, di antaranya seperti berikut:





Sejalan dengan hal di atas, Sunari mengemukakan tentang karya lukis seperti berikut:

...bahwa dalam melukis, kesenian-kesenian tradisi tadi bukan merupakan penghalang, namun justru semakin memperkaya ide dan simbol lukisan saya. Bagi saya, yang menjadi persoalan dalam dunia seni lukis itu, bukan semata-mata bentuk yang lahiriah, namun cenderung ke hal-hal yang lebih abstrak, yaitu ”sesuatu dibalik visualitas” baik pesan, gagasan maupun proses. Bagi saya, melukis adalah merdeka. Artinya, bebas dan nyaman dalam menampilkan gagasan-gagasan, sehingga simbol dari bentuk-bentuk itu tidak menjadi halangan dalam kemerdekaan melukis, namun justru menyenangkan. Dan, yang lebih penting, semoga apa yang saya lakukan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bagi Sunari di dalam melukis yang dipentingkan adalah ungkapan. Ungkapan yang ada dibalik visualitas lukisan, itu lah yang disampaikan kepada apresiator untuk diterjemahkan sesuai dengan penafsirannya. Dengan demikian, bagi Sunari kegiatan melukis seperti halnya buku harian. Artinya, apa yang sedang dialami Sunari pada saat tertentu, itulah yang dia keluarkan untuk diekspresikan ke dalam lukisan.

Pengamatan dan proses melukis Sunari, seperti yang disampaikan tentang penjabaran situasional dengan tema wayang kulit, wayang topeng, kasus agen kekuasaan, dan sebagainya adalah penggambaran lingkungan yang belum pernah dialami akan mengarah kesuatu fantasi. Fantasi tersebut akan ditambah-tambah, dibesar-besarkan dan ada yang dikurangi, dikecil-kecilkan pada bagian tertentu (unsur pengolahan) dan bahkan ada yang digabung-gabungkan menjadi suatu penjabaran yang baru sama sekali. Konsep dan fantasi yang muncul dalam diri Sunari itulah yang mempunyai nilai guna dan keindahan yang mengarah kepada kemampuan akal kreatif. Hal itu sebagai suatu proses pengembangan apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi yang merupakan unsur-unsur pengetahuan Sunari yang sadar. Miskipun dalam dirinya, ada sebagian pengetahuan tersembunyi yang disebabkan karena suatu hal yang pada kesempatan itu belum terjadi penggambaran lebih lanjut. Artinya ada unsur-unsur pengetahuan yang tersembunyi ke dalam bagian dari jiwa (alam bawah sadar) dan suatu ketika akan muncul dan berbaur dengan pengetahuan yang lain.

2. Perasaan
Alam kesadaran manusia mengandung berbagai macam perasaan. Konsep tentang perasaan adalah suatu keadaan manusia karena pengaruh pengetahuannya yang dinilai sebagai keadaan positip dan negatif (Koentjaraningrat, 1980:121). Perasaan yang selalu subyektif karena adanya penilaian dan menimbulkan kehendak dalam kesadaran Sunari. Kehendak itu positip, artinya ia ingin mendapatkan hal yang dirasakan sebagai suatu hal yang akan memberikan kenikmatan kepadanya. Suatu misal, Sunari sebagai guru seni lukis anak-anak, ia telah banyak mengantarkan anak didiknya ke forum Nasional bahkan Internasional. Festival seni lukis anak di Sentanikethan India adalah salah satu prestasi anak didiknya. Perasaan Sunari yang memberikan kenikmatan positip pada saat menghantarkan anak lelakinya, si Panji sebagai dalang cilik untuk memainkan sebuah lakon dalam wayang kulit. Demikian pula pada bulan Mei 2006, Sunari merasa puas dan lega dapat menghantarkan putrinya, Galuh S. Melati dalam prosesi pernikahan.

Sesuatu yang dirasakan sebagai sesuatu hal yang memberi kenikmatan negatif, yaitu perasaan yang dialami Sunari. Ketika seorang teman pelukis anggota sanggar mengatakan, bahwa sekarang ini Sunari ”bukan guru lagi” sehingga tidak diundang sebagai peserta pameran lukisan karya guru-guru seni rupa kota Malang. Peristiwa tersebut membuat perasaan dan emosi yang tidak nikmat bagi pribadi Sunari atas komentar teman dari sanggar tersebut

3. Dorongan Naluri
Kesadaran manusia mengandung berbagai perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena pengetahuannya, melainkan naluri. Kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap makhluk disebut dengan dorongan (dalam Koentjaraningrat,1980:123). Dorongan naluri yang terkandung dalam naluri Sunari adalah sebagai berikut:

(a) dorongan mempertahankan hidup
Dengan pendirian Bina Seni Lukis dan Tari Sunari.S.Hardina, kemudian keterlibatannya dalam beberapa aktivitas organisasi kesenian seperti Sanggar Arti, LBW, DKM, Pepadi Kota Malang, guru lukis di Charis International Academy Malang, dan guru lukis privat, bagi Sunari merupakan kemauan yang besar atas kepeduliannya terhadap keluarga dan kesenian. Dengan aktivitas, sarana, dan fasilitas yang diciptakan serta kegiatan seni (sebagai pelukis), maka secara tidak langsung bagi Sunari ada sesuatu yang direncanakan, dikerjakan, kemudian ada sesuatu yang ingin dicapai. Semua itu adalah semata-mata dalam rangka sebagai dorongan untuk mempertahankan hidup.

(b) Dorongan berkeluarg
Bagi Sunari merupakan dorongan untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya. Keterlibatannya dalam menekuni tari wayang topeng Malangan dan beberapa kali ikut pentas tari, baik yang diadakan di Malang, Jakarta maupun di Ujung Padang. Dalam diri Sunari, sebenarnya mempunyai cita-cita dan harapan untuk masa depan, yakni dikelak kemudian dia harus mampu dan berhasil mempunyai seorang istri penari sebagai pendamping hidupnya. Melalui proses yang panjang dan atas saran dari Oka Jauhari teman anggota Sanggar Arti Malang, maka dengan keberanian dan keyakinan yang mantap, sekaligus mendapat dukungan dari keluarga (tahun 1980), Sunari segera meminta S. Hardina untuk menjadi istrinya. Dalam proses perjalanan ini, Sunari dan S. Hardina dikarunia 2 orang anak, yaitu Galuh S. Melati yang mempunyai profesi seperti orang tuanya, yaitu sebagai penari dan guru, sedangkan yang bungsu, Panji Peksi Branjangan, yang saat ini masih menekuni seni pedhalangan dan kesenian Barongsai.


(c) dorongan untuk usaha mencari makan
Sebagai pelukis dan guru, disamping itu Sunari juga selalu berpikir bagaimana untuk dapat menciptakan ”sesuatu” lapangan pekerjaan atau kegiatan seni lainnya, agar apa yang sedang dikerjakan tersebut memberikan tambahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 23 tahun, Sunari masih aktif menekuni dan menjalankan pekerjaan mengajar seni lukis anak dengan cara ”door to door” (istilah yang digunakan Sunari) sampai sekarang, miskipun bina seni lukis dan tari tetap dilakukan. Dengan demikian, apabila melihat intensitas Sunari seperti itu, di dalam melakukan pekerjaan melalui pembelajaran seni lukis anak, menunjukkan dorongan yang sangat tinggi dan kesempatan baik itu, tetap dijaga kelangsungannya, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Memang, hal ini bukan sesuatu yang mudah dan gampang dalam waktu yang cukup lama untuk menjalaninya profesi tersebut, di mana dalam satu hari pekerjaan les privat seni lukis anak, sampai dilakukan Sunari sampai 2 atau 3 kelompok yang harus didatangi (dari rumah ke rumah). Di sisi yang lain, melakukan usaha berupa persewaan pakaian untuk digunakan dalam tari tradisional dan melakukan usaha dengan menerima pesanan kesenian, misalnya dalam acara keluarga seperti pertunjukkan tari (dilakukan dalam satu tim keluarga), dan sebagainya.

(d) dorongan untuk meniru tingkahlaku sesama
Sunari hidup dalam lingkungan pendidikan, kelompok senirupawan Kota Malang, komunitas seni tradisi Malangan, yaitu semenjak masih duduk di SR sampai masa dewasa dan berkeluarga. Sunari memaksa dirinya berbuat sesuai dengan kondisi lingkungan pendidikan dan kesenian. Sebagai salah satu pengurus (sebagai ketua dari Paguyuban Dalang-Pepadi Kota Malang), Sunari banyak waktu untuk berdialog dengan para dalang, sehingga muncul filosofinya dalam kehidupannya, yaitu wayang kulit sebagai tontonan, tuntunan, dan tatahan. Sedikit banyak mempengaruhi perwujudan dalam lukisan yang sedang dikerjakan. Artinya, lukisan Sunari tidak sekedar sebagai alat untuk berekspresi, tetapi juga bertutur dan menyampaikan tuntunan bagi yang melihat lukisannya.

(f) dorongan untuk berbakti
Dorongan ini mungkin ada dalam naluri manusia, karena merupakan makhluk yang hidup secara kolektif. Sebagai pelukis yang malang-melintang di kesenian tradisional, wajarlah kalau lukisan Sunari yang bertemakan wayang topeng Malangan atau wayang kulit wetanan. Proses mendalami dan mempublikasikan seni tradisi melalui karya lukisan. Kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk memperkuat dan memperteguh lingkaran kesenimannya, tidak saja di dunia luar saja tetapi juga keluarganya (anak-anaknya juga ikut berkecimpung dalam kegiatan seni tradisional). Hal ini istrinya, S. Hardina juga berprofesi sebagai penari dan guru tari. Sejalan dengan fenomena itu, maka salah satu bakti Sunari sebagai dorongan dalam dirinya yaitu mengupayakan, mempertahankan, mengisi, dan mengembangkan agar seni tradisi tetap masih dikenali dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.

(g) dorongan akan keindahan
Sebagai seorang yang memiliki predikat guru, pelukis, dan organisatoris di kesenian, maka Sunari selalu memperhatikan sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, keselarasan, dan kesatuan. Setiap ”apa” yang direncanakan, dikenakan, dikerjakan, dan sasaran yang berupa hasil akhir selalu berorientasi pada landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan yaitu kesenian.

Sistem organisma merupakan perilaku yang didasarkan atas konstitusi genitik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual (Koentjaraningrat, 2002). Sunari hidup dalam komunitas pelukis modern (miskipun sumber idenya berasal dari seni tradisi) dan komunitas seni tradisi Malangan dalam interaksi berperan sebagai pelukis, guru, dan organisatoris selalu menggunakan sarana komunikasi berupa bahasa (bahasa Malangan dan bahasa Indonesia) yang bercirikan dan di dalamnya mengandung kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan dan konsep yang makin lama makin tajam. Kemampuan sebagai guru seni lukis anak yang telah dijalani cukup lama itu akan memudahkan proses dalam pembelajaran seni terhadap anak-anak. Demikian pula pengetahuan seni tradisi Malangan yang tersimpan dalam diri Sunari akan memberi pengaruh pada generasi berikutnya. Salah satu contoh adalah kedua anaknya yang pada saat ini juga mendalami dan terlibat langsung dalam seni tradisi, yakni seni tari dan pedalangan (wayang kulit).




Pengetahuan dan pengalaman seni rupa, seni tradisi akan selalu bertambah dan berkembang. Pengalaman yang telah kian bertambah tersebut, kemudian disimpan dan diatur oleh akal akan menjadi sistem pengetahuan yang kemudian diwujudkan melalui Bina Seni Lukis dan Tari ”Sunari. S.Hardina atau kepada individu dan kelompok lain yang berkepentingan.

Kemampuan dan kapasitas berpikir Sunari dalam komunitas kesenian menjadi dasar untuk menciptakan berbagai macam kegiatan, antara lain: pameran lukisan, pertunjukkan seni tari, bina seni lukis anak dan tari remaja atau dewasa, dialog seni, memfasilitasi keperluan kostum tari, dan sekaligus sebagai studio untuk kegiatan melukis. Kemampuan Sunari untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep menyebabkan dia dapat mengembangkan dirinya sendiri sebagai suatu entitas sendiri, lepas dari lingkungan misalnya melalui Pemerintah Daerah, organisasi kesenian, dan masyarakat sekitarnya. Miskipun dalam pengalaman kesenian akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dalam segi pengadaan dana. Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut, identitas seorang Sunari sebagai pelukis, guru, dan organisatoris kesenian akan dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang dilakukannya, yaitu semenjak lahir sampai sekarang dan semuanya dilakukan dengan rasa peduli, kerja keras tanpa mudah menyerah, tetap bersemangat, dan intensitas berkarya untuk memperjuangkan pilihannya dalam kesenian.

PENUTUP

Dalam penutup ini dikemukakan kesimpulan, dan saran. Kesimpulan, merupakan jawaban dari permasalahan. Saran berkaitan dengan manfaat kajian.

1. Kesimpulan

Kajian ini menunjukkan figur Sunari yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kebudayaan yang meliputi: sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisma. Sanggar seni rupa Arti Malang, Paguyuban Kesenian Laras Budi Wanita, Dewan Kesenian Malang, Taman Wisata dan Budaya Senaputra, Pepadi Kota Malang, Bina Seni lukis & Tari, dan komunitas seni tradisi Malangan merupakan pedukung dari perilaku Sunari yang memiliki predikat sebagai guru, pelukis, pemerhati seni, dan budaya tradisional, ketua dan pemilik Bina Seni Lukis dan Tari yang menjadi fokus kajian dan tercermin dalam pembahasan.

Biografi Sunari dalam kajian sistem kebudayaan yaitu:

(1) sistem budaya: pengetahuan adalah usaha memenuhi kebutuhan spiritual. Kemudian pengetahuan diimplementasikan dalam bentuk karya, yang mengikutsertakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Teknologi dan pengetahuan akan menghasilkan ide/gagasan, selanjutnya diwujudkan dalam kesenian. Pengetahuan menghasilkan pengalaman merupakan hasil pewarisan dari lingkungannya. Perjalanan hidup Sunari menunjukkan bahwa keyakinan, nilai, ide/gagasan yang dilatarbelakangi pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat, dan minat mendorong Sunari untuk berperilaku dan menghasilkan kebudayaan yang bersifat konkrit;

(2) sistem sosial: ide, gagasan, dilatarbelakangi oleh pengetahuan, pengalaman, kecerdasan, bakat dan minat telah mendorong Sunari berperilaku dan menghasilkan wadah aktivitas baik aktivitas di komunitas pelukis, seni tradisi, dan aktivitas seni lukis anak. Bina Seni Lukis dan Tari Sunari.S. Hardina merupakan tindakan, di mana Sunari dan siswa, orang tua siswa saling berhubungan dan berinteraksi. Demikian juga di dalam organisasi kesenian saling berhubungan atau berinteraksi. Ia melaksanakan berbagai macam hal yang diterjemahkan pada optimalisasi program kegiatan kesenian, yaitu pameran lukisan, lomba seni lukis, pertunjukkan seni, dan sebagainya;

(3) sistem kepribadian: ciri watak seseorang individu konsisten (berkesenian), memberikan suatu identitas sebagai individu yang khusus. Artinya, ciri watak yang diperlihatkan secara lahir, konsisten, dan konsekwen dalam tingkah lakunya sehingga ia memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya. Kepribadian Sunari terisi dengan pengetahuan berupa: persepsi, penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi mengenai aneka macam hal yang berada dalam lingkungan yang bersangkutan; dan

(4) sistem organisma: perjalanan kesenian Sunari diawali dengan kemampuan melukis pada saat di STN Malang. Kemampuan tersebut diperoleh dari pengetahuan dan ketertarikan pada orangtuanya yang gemar melukis. Pengetahuan dan pengalaman Sunari dalam seni rupa dan seni tradisi akan bertambah dan berkembang. Selanjutnya diteruskan melalui aktivitas pada komunitas senirupawan Malang, komunitasi seni tradisi Malangan, dan bina seni lukis anak-anak. Dengan demikian, sistem organisma, menunjukkan identitas Sunari sebagai guru, pelukis, dan organisatoris kesenian akan dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang ia lakukan secara terus menerus.

2. Saran

Sunari sebagai pelukis kota Malang menghasilkan beberapa aktivitas, di antaranya sebagai guru, seniman dan kepala keluarga. Terkait dengan hal tersebut, kajian ini menyarankan, kepada: (1) Sunari, bahwa hakikat hubungan antara individu dan kesenian senantiasa dinamis. Hubungan itu, yaitu kesenian dapat mewujudkan iman, kesadaran, dan pandangan hidup yang dapat memperkuat dalam berkarya atau berkesenian. (2) Guru mata pelajaran seni budaya dapat memanfaatkan pengalaman Sunari dan S. Hardina (sebagai teman sejawat) untuk membahas seni lukis anak/tari, dan (3) masyarakat, bahwa keberadaan bina seni lukis dan tari ”Sunari S.Hardina”, dapat digunakan sebagai wadah pembelajaran seni. Bagi Pemerintah Daerah Kota Malang, bahwa wadah aktivitas seni ini, merupakan aset daerah yang potensial untuk didukung dan dikembangkan.


DAFTAR PUSTAKA


Harsojo. 1988. Pengantar Antropologi I. Penerbit Binacip
Kontjaraningrat. 1980 (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Buku
____________ . 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipt
Masunah, Juju. 2000. Sawitri Penari Topeng Losari. Yogyakarta: Penerbit Tarawang
Muhadjir, Imam.2001. Formulasi Perjalanan Kreatif Sunari. Malang: Katalog Pameran Lukisan Perjalanan III Sunari
___________. 2003. Menyimak keaneka ragaman karya pelukis kota Malang. Malang: Puri Art Gallery dan Dewan Kesenian Malang
_____________. 2004. Sepuluh Pelukis Dan Dunia Imajinasinya. Malang: Semar Art Gallery Malan
Ritzer, G & J.Donglas. G. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media-Terjemahan oleh Alimandan
Rohendi, Tjetjep Rohidi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia
Salim, Agus. 2001. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.